Sabtu, 05 Desember 2015

makalah hadits masa kodifikasi

MAKALAH HADITS MASA KODIFIKASI




MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
“Pendidikan Agama Islam”

Disusun oleh :
Ø   Alfa Alif Norfalis Siti Fatimah
Ø   Nuzul Zakilah Ramadhani
Ø   Suraya Choliza
Ø   Wewed Waedahro
Ø   Yashinta Nurzakiyah

Guru Pembimbing :
Umbaran, SH.I


PERIODE 2014-2015
SMA TRENSAINS TEBUIRENG II




KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh .
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan jahiliyah menuju zaman terang benderang addinul islam .
Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ustadz Umbaran selaku guru pembimbing Pendidikan Agama Islam yang telah membimbing kami, kami juga ingin mengucapkan rasa terima kasihh kepada pihak-pihak yang telah membatu kami menyelesaikan makalah ini .
Mungkin tugas yang kami buat ini, belum sempurna oleh karena itu, kami meminta maaf jika makalah ini masih terdapat kekurangannya. Kami mohon saran dan kritiknya untuk memperbaiki pembahasan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh .



BAB 1
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Latar belakang dibuatnya makalah ini adalah  untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam.
B.   RUMUSAN MASALAH
1.             Apa definisi kodifikasi hadist?
2.             Kapan resminya kodifikasi hadist dibuat?
3.             Bagaimana sejarah perkembangannya?

C.   TUJUAN
Mengetahui bagaimana sejarah kodifikasi hadist



BAB 2
PEMBAHASAN
A.         DEFINISI KODIFIKASI HADITS
Kodifikasi atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu. Atau dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration). Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan pendokumentasian.
Adapun kata rasmiyan (secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.

Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara resmi dan penulisan hadith adalah :
1.      Kodifikasi Hadist secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh masyarakat, sedang penulisan hadist dilakukan perorangan.
2.      Kegiatan kodifikasi hadist tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasinya.
3.      Tadwin Hadist dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang dianggapkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadist dilakukan oleh orang-orang tertentu.

B.   LATAR BELAKANG PEMBUKUAN HADITS
Ada tiga faktor yang menjadikan khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan mengumpulkan hadis. Pertama, yang sangat ia khawatirkan adalah hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang, sebagaimana terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkan kepada para ulama, sebab peranan ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan ilmu agama, melainkan turut ke medan perang atau bahkan mengambil peranan penting dalam suatu pertemuan.
Kedua, Ia khawatir akan tercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan usaha kodifikasi.
Usaha pengumpulan dan pembukuan hadis tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai upaya penyelamatan hadis dari kemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik pada saat itu.

C.   WAKTU KODIFIKASI SECARA RESMI
Ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak dimulai.
a.       Kelompok Syi’ah, mendasarkan pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qadaya.
b.      Sejak abad I H, yakni  atas prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaannya.
c.       Sejak awal abad II  H,   yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith yang ada pada  ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang  nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa kodifikator hadis pertama, muncul  nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H), karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu kitab dan menggandakannya  untuk diberikan ke berbagai wilayah, sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith. Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke berbagai wilayah.
Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan, yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat individual,  dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para sahabat.  Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.
Tulisan-tulisan hadistpada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah, sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada masa sekarang.
D.    SEJARAH PEMBUKUAN HADITS
Sejarah pembukuan hadits diawali dari kegalauan, kegelisahan, dan kegundahan Umar Bin Abdul Aziz ketika ia dipercaya menjadi khalifah. Kegalauan tersebut adalah selama ini hadis banyak dihafal oleh orang-orang yang punya hafalan kuat, sedangkan kebutuhan masyarakat luas untuk mengetahui hadits sudah tidak bisa dimungkiri. Karenanya, Umar Bin Abdul Aziz merasa bahwa pembukuan hadits perlu dilakukan.

Umar bin Abdul Aziz ditengarai menjadi seorang khalifah yang pertama kali ingin melakukan pembukuan terhadap hadits. Ini bisa dikatakan sebagai periode awal pembukuan hadis atau pembukuan hadis pertama kali. Pada abad ke 2, pembukuan bukan saja dilakukan terhadap hadis, tetapi juga fatwa sahabat dan tabi'in.

Hadis pada abad ke 2 hijriah tidak memisahkan hadis dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Keadaan ini kemudian diperbaiki oleh ahli hadis abad pada abad 3 hijriah. Ketika mengumpulkan hadis, para ahli hadits memisahkan hadis dari fatwa-fatwa. Pada abad ke 2 hijriah ini ditengarai tidak ada pemisahan hadis, yakni mencampuradukan hadis shahih dengan hadis hasan dan hadis dha’if. Segala hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan keshahihanya atau kehasananya atau kedho’ifanya. Sehingga dalam abad ke 3 ini sudah mulai dibedakan secara rapi antara hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dhaif.

Pada abad ke 3 hijriah, usaha untuk membukukan hadis memuncak sesudah kitab-kitab Ibn Juraij dan al-Muwaththo’ Malik terbesar dalam masyarakat serta disambut dengan gembira oleh masyarakat. Dari sini, timbul kemauan untuk menghafal hadis, mengumpulkan, serta membukukannya. Dari sini pula, ahli-ahli ilmu hadis mulai berpindah tempat dari suatu negeri ke negeri lain untuk mencari hadis yang akhirnya membuat perkembangan hadis semakin maju.

Awalnya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan ini dipecahkan Al-Bukhari di mana beliau yang pada mulanya meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisyabury, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufa, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisyariyah, Asqalan hingga Himsah.

Pada dasarnya Al-Bukhari membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadis yang tersebar di daerah-daerah. 16 tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajahi dalam rangka menyiapkan hadis shahihnya. Pada mulanya, ulama menerima hadis dari para perawi, lalu menulisnya ke dalam bukunya dengan tidak menetapkan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya suatu hadis tersebut.

Menurut beberapa sumber, musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis, lantas berupaya untuk mengacaukan hadits dengan menambahkan lafadznya untuk menciptakan hadis maudhu'.

Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan yang dilakukan oleh mereka, maka para ulama’ hadis bersungguh-sungguh membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, antara lain mengenai segi keadilan, tempat, kediaman, waktu, serta memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang dha’if atau hadis palsu.

Pembahasan mengenai kepribadian perawi menghasilkan ilmu qawa’id at-Tahdits atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kaidah-kaidah tahdits, illat-illat hadis, dan tarjamah atau riwayat perawi-perawi hadits. Secara sederhana bisa dipahami bahwa peristiwa tersebut melahirkan tunas ilmu dirayah (ilmu dirayah al-hadits) yang memiliki banyak macamnya selain ilmu riwayat (ilmu riwayat hadis).

Upaya pentashihan dan penyaringan hadis, atau memisahkan yang shahih dari yang dho’if dengan mempergunakan sarat-sarat pentashhihan, baik mengenai perawi riwayat, tahammul dan ada’ melahirkan kitab-kitab sunan. Ulama’ yang pada awalnya menyaring dan membedakan hadis-hadis yang shahih dari hadits palsu dan yang lemah adalah ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termashur.

Penyaringan terhadap hadis-hadis yang sahih, maudlu atau dhaif diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Al-Bukhari. Dalam kitab “Al-Jami’us Shahih”, Beliau membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih, bukan hadis maudlu maupun hadis dhaif. Sementara itu, Imam Al-Suyuti dalam kitab Alfiyah menyebutka: “Orang pertama yang hanya menyusun hadis shahih adalah Al-Bukhari”. Sampai saat ini, hadis-hadis yang disusun Al Bukhari dikenal dengan hadis shahih Bukhari yang menjadi kitab kumpulan hadis yang banyak digunakan sebagai rujukan dalam setiap penelitian Islam.

Sesudah Shahih Bukhari dan shahih Muslim, banyak Imam lain bermunculan yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, salah satunya adalah Abu Dawud, Al-Tirmizdi, An-Nasa’i, dan Ibn Majah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah. Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad 2 dan abad 3 diberikan gelar "mutaqaddimin" yang berarti mengumpulkan hadis hanya berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di penjuru negara Arab, Persi dan lain-lain. Sedangkan ulama setelah abad 2 dan 3 dijuluki dengan gelar "Ulama’ Mutaakhirin". Sebagian besar hadis yang mereka kumpulkan merupakan nukilan atau copy-paste dari kitab-kitab mutaqaddimin. Hanya sedikit sekali yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri dari para penghafalnya secara langsung.



BAB 3
KESIMPULAN
 kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Latarbelakang pembukuan hadits :
1.      Khawatir hilangnya hadits
2.      Takut tercampurnya hadits yang shahih dan yang palsu
3.      semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan usaha kodifikasi.
penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar