MAKALAH
HADITS MASA KODIFIKASI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi
tugas
“Pendidikan Agama Islam”
“Pendidikan Agama Islam”
Disusun oleh :
Ø
Alfa Alif Norfalis Siti
Fatimah
Ø
Nuzul Zakilah Ramadhani
Ø
Suraya Choliza
Ø
Wewed Waedahro
Ø
Yashinta Nurzakiyah
Guru Pembimbing :
Umbaran,
SH.I
PERIODE 2014-2015
SMA TRENSAINS TEBUIRENG
II
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh .
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan jahiliyah
menuju zaman terang benderang addinul islam .
Tak lupa pula kami ucapkan terima
kasih kepada Ustadz Umbaran selaku guru pembimbing Pendidikan Agama Islam yang
telah membimbing kami, kami juga ingin mengucapkan rasa terima kasihh kepada
pihak-pihak yang telah membatu kami menyelesaikan makalah ini .
Mungkin tugas yang kami buat ini,
belum sempurna oleh karena itu, kami meminta maaf jika makalah ini masih
terdapat kekurangannya. Kami mohon saran dan kritiknya untuk memperbaiki
pembahasan makalah ini.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh .
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Latar
belakang dibuatnya makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa definisi kodifikasi
hadist?
2.
Kapan resminya
kodifikasi hadist dibuat?
3.
Bagaimana sejarah
perkembangannya?
C. TUJUAN
Mengetahui bagaimana sejarah kodifikasi
hadist
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI KODIFIKASI
HADITS
Kodifikasi
atau tadwin hadith secara resmi di sinonimkan dengan tadwin al hadith
Rasmiyan, tentunya akan berbeda dengan penulisan hadith atau kitabah al
hadith. Secara etimologi kata kodifikasi berasal kata codification
yang berarti penyusunan menurut aturan/ sistem tertentu. Atau
dari kata tadwin dapat berarti perekaman (recording), penulisan (writing
down), pembukuan (booking), pendaftaran (listing, registration).
Lebih dari itu, kata tadwin juga berarti pendokumentasian, penghimpunan
atau pengumpulan serta penyusunan. Maka kata tadwin tidak semata- mata
berarti penulisan, namun ia mencakup penghimpunan, pembukuan dan
pendokumentasian.
Adapun kata rasmiyan
(secara resmi) mengandung arti bahwa suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga
administratif yang diaukui oleh masyarakat, baik langkah yang ditempuh tersebut
diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri.
Jadi yang
dimaksud dengan kodifikasi hadith secara resmi adalah penulisan hadith
nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang disusun menurut aturan dan sistem
tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Adapun perbedaan antara kodifikasi hadith secara
resmi dan penulisan hadith adalah :
1. Kodifikasi
Hadist secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui oleh
masyarakat, sedang penulisan hadist dilakukan perorangan.
2.
Kegiatan kodifikasi hadist tidak
hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun dan mendokumentasinya.
3. Tadwin
Hadist dilakukan secara umum yang melibatkan segala perangkat yang
dianggapkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadist dilakukan oleh
orang-orang tertentu.
B. LATAR
BELAKANG PEMBUKUAN HADITS
Ada tiga
faktor yang menjadikan khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan
mengumpulkan hadis. Pertama, yang sangat ia khawatirkan adalah hilangnya
hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang, sebagaimana
terlihat pada naskah surat-surat yang dikirimkan kepada para ulama, sebab
peranan ulama pada saat sebelumnya bukan hanya mengajarkan ilmu agama,
melainkan turut ke medan perang atau bahkan mengambil peranan penting dalam
suatu pertemuan.
Kedua, Ia
khawatir akan tercampurnya hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga,
bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara kemampuan para
tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan
usaha kodifikasi.
Usaha
pengumpulan dan pembukuan hadis tersebut merupakan tindakan yang dilakukan oleh
Umar bin Abdul Aziz sebagai upaya penyelamatan hadis dari kemusnahan dan
pemalsuan, sebagai akibat terjadinya pergolakan politik pada saat itu.
C. WAKTU
KODIFIKASI SECARA RESMI
Ada beberapa
pendapat yang berkembang mengenai kapan kodifikasi secara resmi dan serentak
dimulai.
a.
Kelompok Syi’ah, mendasarkan
pendapat Hasan al-Sadr (1272-1354 H), yang menyatakan bahwa penulisan hadis
telah ada sejak masa Nabi dan kompilasi hadis telah ada sejak awal khalifah Ali
bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya Kitab Abu Rafi’, Kitab al-Sunan wa
al-Ahkam wa al-Qadaya.
b.
Sejak abad I H, yakni atas
prakarsa seorang Gubernur Mesir ‘Abdul ‘Aziz bin Marwan yang memerintahkan
kepada Kathir bin Murrah, seorang ulama Himsy untuk mengumpulkan hadis, yang
kemudian disanggah Syuhudi Ismail dengan alasan bahwa perintah ‘Abdul ‘Aziz bin
Marwan bukan merupakan perintah resmi, legal dan kedinasan terhadap ulama yang
berada di luar wilayah kekuasaannya.
c.
Sejak awal abad II
H, yakni masa Khalifah ke-5 Dinasti ‘ Abbasiyyah, ‘Umar ibn ‘Abdul
‘Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama di wilayah
kekuasaannya untuk mengumpulkan hadith- hadith Nabi. Kepada Ibnu Shihab
al-Zuhri, beliau berkirim surat yang isinya:” Perhatikanlah hadis Rasulullah
SAW., lalu tulislah. Karena aku mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan
hilangnya para ahli” dan kepada Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, beliau
menyatakan: “Tuliskan kepadaku hadis dari Rasulullah yang ada padamu dan hadith
yang ada pada ‘Amrah (Amrah binti Abdurrahman, w. 98 H), karena aku
mengkhawatirkan ilmu itu akan hilang dan lenyap.”
Pendapat
ketiga ini yang dianut Jumhur Ulama Hadis, dengan pertimbangan jabatan khalifah
gaungnya lebih besar daripada seorang gubernur, khalifah memerintah kepada para
gubernur dan ulama dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut
yang nyata dari para ulama masa itu untuk mewujudkannya dan kemudian
menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan
demikian, penulisan hadith yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai
ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan kodifikasinya secara serentak, resmi
dan massal pada awal abad II H, yakni masa ‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa
jadi inisiatif tersebut berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah
mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
Adapun siapa
kodifikator hadis pertama, muncul nama Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 123 H),
karena beliaulah yang pertama kali mengkompilasikan hadith dalam satu
kitab dan menggandakannya untuk diberikan ke berbagai wilayah,
sebagaimana pernyataannya: ”Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memerintahkan kepada kami
menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku.” Kemudian beliau
mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya.
Demikian pandangan yang dirunut sebagian besar sejarawan dan ahli Hadith.
Adapun ulama yang berpandangan Muhammad Abu Bakr ibn Amr ibn Hazm yang
mengkodifikasikan hadith pertama, ditolak oleh banyak pihak, karena
tidak digandakannya hasil kodifikasi Ibn Amr ibn Hazm untuk disebarluaskan ke
berbagai wilayah.
Meski
demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kodifikator hadith sebelum
adanya instruksi kodifikasi dari Khalifah Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz telah dilakukan,
yakni oleh Khalid bin Ma’dan (w. 103 H). Rasyid Ridha (1282-1354 H) berpendapat
seperti itu, berdasar periwayatan, Khalid telah menyusun kitab pada masa itu
yang diberi kancing agar tidak terlepas lembaran-lembarannya. Namun pendapat
ini ditolak ‘Ajjaj al-Khatib, karena penulisan tersebut bersifat
individual, dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelumnya oleh para
sahabat. Terbukti adanya naskah kompilasi hadis dari abad I H, yang
sampai kepada kita, yakni al-Sahifah al-Sahihah.
Tulisan-tulisan
hadistpada masa awal sangat penting sebagai dokumentasi ilmiah dalam sejarah,
sebagai bukti adanya penulisan hadith sejak zaman Rasululloh, sampai dengan
pada masa pengkodifikasian resmi dari Umar bin abdul aziz, bahkan sampai pada
masa sekarang.
D. SEJARAH
PEMBUKUAN HADITS
Sejarah pembukuan hadits diawali dari
kegalauan, kegelisahan, dan kegundahan Umar Bin Abdul Aziz ketika ia dipercaya
menjadi khalifah. Kegalauan tersebut adalah selama ini hadis banyak dihafal
oleh orang-orang yang punya hafalan kuat, sedangkan kebutuhan masyarakat luas
untuk mengetahui hadits sudah tidak bisa dimungkiri. Karenanya, Umar Bin Abdul
Aziz merasa bahwa pembukuan hadits perlu dilakukan.
Umar bin Abdul Aziz ditengarai menjadi seorang khalifah yang pertama kali
ingin melakukan pembukuan terhadap hadits. Ini bisa dikatakan sebagai periode
awal pembukuan hadis atau pembukuan hadis pertama kali. Pada abad ke 2,
pembukuan bukan saja dilakukan terhadap hadis, tetapi juga fatwa sahabat dan
tabi'in.
Hadis pada abad ke 2 hijriah tidak memisahkan hadis dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in. Keadaan ini kemudian diperbaiki oleh ahli hadis abad pada
abad 3 hijriah. Ketika mengumpulkan hadis, para ahli hadits memisahkan hadis
dari fatwa-fatwa. Pada abad ke 2 hijriah ini ditengarai tidak ada pemisahan
hadis, yakni mencampuradukan hadis shahih dengan hadis hasan dan hadis dha’if.
Segala hadis yang mereka terima mereka bukukan dengan tidak menerangkan
keshahihanya atau kehasananya atau kedho’ifanya. Sehingga dalam abad ke 3 ini
sudah mulai dibedakan secara rapi antara hadis shahih, hadis hasan, dan hadis
dhaif.
Pada abad ke 3 hijriah, usaha untuk membukukan hadis memuncak sesudah
kitab-kitab Ibn Juraij dan al-Muwaththo’ Malik terbesar dalam masyarakat serta
disambut dengan gembira oleh masyarakat. Dari sini, timbul kemauan untuk
menghafal hadis, mengumpulkan, serta membukukannya. Dari sini pula, ahli-ahli
ilmu hadis mulai berpindah tempat dari suatu negeri ke negeri lain untuk
mencari hadis yang akhirnya membuat perkembangan hadis semakin maju.
Awalnya, ulama Islam mengumpulkan hadits yang terdapat di kota mereka
sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan
hadits. Keadaan ini dipecahkan Al-Bukhari di mana beliau yang pada mulanya
meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke
Maru, Naisyabury, Ray, Baghdad, Bashrah, Kufa, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qaisyariyah, Asqalan hingga Himsah.
Pada dasarnya Al-Bukhari membuat langkah baru untuk mengumpulkan hadis yang
tersebar di daerah-daerah. 16 tahun lamanya Al Bukhari terus menjelajahi dalam
rangka menyiapkan hadis shahihnya. Pada mulanya, ulama menerima hadis dari
para perawi, lalu menulisnya ke dalam bukunya dengan tidak menetapkan
syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya suatu hadis
tersebut.
Menurut beberapa sumber, musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat
kegiatan-kegiatan ulama hadis dalam mengumpulkan hadis, lantas berupaya untuk
mengacaukan hadits dengan menambahkan lafadznya untuk menciptakan hadis
maudhu'.
Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menyadari akibat-akibat perbuatan
yang dilakukan oleh mereka, maka para ulama’ hadis bersungguh-sungguh membahas
keadaan perawi-perawi dari berbagai segi, antara lain mengenai segi keadilan,
tempat, kediaman, waktu, serta memisahkan hadis-hadis yang shahih dari yang
dha’if atau hadis palsu.
Pembahasan mengenai kepribadian perawi menghasilkan ilmu qawa’id at-Tahdits
atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kaidah-kaidah tahdits, illat-illat
hadis, dan tarjamah atau riwayat perawi-perawi hadits. Secara sederhana bisa
dipahami bahwa peristiwa tersebut melahirkan tunas ilmu dirayah (ilmu
dirayah al-hadits) yang memiliki banyak macamnya selain ilmu riwayat (ilmu
riwayat hadis).
Upaya pentashihan dan penyaringan hadis, atau memisahkan yang shahih dari
yang dho’if dengan mempergunakan sarat-sarat pentashhihan, baik mengenai perawi
riwayat, tahammul dan ada’ melahirkan kitab-kitab sunan. Ulama’ yang pada
awalnya menyaring dan membedakan hadis-hadis yang shahih dari hadits palsu dan
yang lemah adalah ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termashur.
Penyaringan terhadap hadis-hadis yang sahih, maudlu atau dhaif
diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Al-Bukhari. Dalam kitab “Al-Jami’us
Shahih”, Beliau membukukan hadis-hadis yang dianggap shahih, bukan hadis maudlu
maupun hadis dhaif. Sementara itu, Imam Al-Suyuti dalam kitab Alfiyah
menyebutka: “Orang pertama yang hanya menyusun hadis shahih adalah Al-Bukhari”.
Sampai saat ini, hadis-hadis yang disusun Al Bukhari dikenal dengan hadis
shahih Bukhari yang menjadi kitab kumpulan hadis yang banyak digunakan sebagai
rujukan dalam setiap penelitian Islam.
Sesudah Shahih
Bukhari dan shahih Muslim, banyak Imam lain bermunculan yang mengikuti jejak Bukhari
dan Muslim, salah satunya adalah Abu Dawud, Al-Tirmizdi, An-Nasa’i, dan Ibn
Majah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah. Ulama-ulama
hadis yang muncul pada abad 2 dan abad 3 diberikan gelar
"mutaqaddimin" yang berarti mengumpulkan hadis hanya berpegang pada
usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafalnya yang
tersebar di penjuru negara Arab, Persi dan lain-lain. Sedangkan ulama
setelah abad 2 dan 3 dijuluki dengan gelar "Ulama’ Mutaakhirin". Sebagian
besar hadis yang mereka kumpulkan merupakan nukilan atau copy-paste dari
kitab-kitab mutaqaddimin. Hanya sedikit sekali yang dikumpulkan dari usaha
mencari sendiri dari para penghafalnya secara langsung.
BAB
3
KESIMPULAN
KESIMPULAN
kodifikasi hadith secara
resmi adalah penulisan hadith nabi yang dilakukan oleh pemerintah yang
disusun menurut aturan dan sistem tertentu yang diakui oleh masyarakat.
Latarbelakang
pembukuan hadits :
1.
Khawatir hilangnya hadits
2.
Takut tercampurnya hadits yang
shahih dan yang palsu
3.
semakin meluasnya daerah kekuasaan islam sementara
kemampuan para tabiin antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan usaha kodifikasi.
penulisan hadith yang sudah
ada dan marak tetapi belum selesai ditulis pada masa Nabi, baru diupayakan
kodifikasinya secara serentak, resmi dan massal pada awal abad II H, yakni masa
‘Umar bin ‘Abdul’Aziz, meskipun bisa jadi inisiatif tersebut berasal dari
ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisyaratkan hal yang sama sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar