Sabtu, 05 Desember 2015

TAFSIR @2

Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya - Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
  1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
  2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
  3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.

 Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya        

Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.

Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
  1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
  2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilma’tsur. 
  3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi.
  4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.  Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi. 
  5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya  tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj  (tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

 
Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya

1.  Metode Tahlily (metode Analisis)

Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.
2.  Metode Ijmaly (metode Global)

Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.


3.  Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)

Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].

4.  Metode Maudhu’i (metode Tematik)

Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil

  1. Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
  2. Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar
Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya dibawah ini Ya !!

  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN2I0TLtDKc3T3w8CMAKhMapjc9dXPIO_B3tLmbTGSGRVmc-_jE5vZwgWKnONpGXmfxw66lzfCPiDHAT8E5JYGGuI-gnqZOeWi_GVCwnnGwR7ZT4hIFj2_Yjj2NuO3KRERprurHwEsOmI1/d/noimagethumb.gifPengertian TafsirKata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpen ... []
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN2I0TLtDKc3T3w8CMAKhMapjc9dXPIO_B3tLmbTGSGRVmc-_jE5vZwgWKnONpGXmfxw66lzfCPiDHAT8E5JYGGuI-gnqZOeWi_GVCwnnGwR7ZT4hIFj2_Yjj2NuO3KRERprurHwEsOmI1/d/noimagethumb.gifSejarah Perkembangan Tafsir Sejarah Perkembangan Tafsir - Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada s ... []
Posted by Sanjaya Yasin on - Rating: 4.5
Title : Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Description : Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya - Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Taf...
Share to

Makalah

Skripsi

15 Artikel Bermanfaat

Headlines by FeedBurner

Artikel Bermanfaat Lainnya

  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlCxq03R5LnHmBvzQBoE9M8q__1LAmXb0kRRoZU2PfOp1Dxge9fjeenR3p6I50CpsIcFHzCracAy1NndBz8I8hjXeFSVmIv_coMsvUBO82VAexHyXkqwJPCF7Yn4RddapkJ4tj6GdyWGvM/s72-c/Pendahuluan+Makalah.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjTTdIq8-8MhaTR68-Jmdazo2IyrcQBA-rQY0BndS4BoXP9zQnT8xOGZa68Tu1z8gxOL93bRe4833SIPWNwFaVUgG36rWpob0ub6XOQfwtM2aM1QQ0bb2RSQaIkIHeqXkoT8uKMA5FCdf-/s72-c/Pengertian+Kredit.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAiJlNAGFQmW0vQ9BkQ7qhuZEhyphenhyphenBoGawbEws4rp-vutf8t6cWdPDDcH2d9XEyRj8Ihn0t2NdGwllnpnjAjk1VIilKGND3ZmBSfvLrw_4_Fc0DgxH5QVSDGO36ypKqEJ-tJkova8zrO5T-J/s72-c/Ukuran+Lapangan+Bola+Voli.gif
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRDQfUH6wbr2RZkIZFVuAVyWV-xM-4-UTFwbnmyy0iBPY-pvXTsYZQtF5XtZRBIhPHQN4VwIqX6gcRMRehilW3KOAj7mR0l_8K415HSk9Y02CmA3Z23p6kD4T8YU-bFkXCXKIxBMhsRixq/s72-c/Kata+Pengantar.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK_20r2BNrQKDKJcO0dNzQjlKP5mI6YQZl56NCdmL6wk4tZEV20XCpBxTAW6oXM3NvN6tpvxFAyZQAJLz9eftTGIQ0XLC8-hNtWnM3-tLA2qM-DUG68JIN47jl8ojOgEvMKd_l52gDzFyX/s72-c/Bimbingan+Konseling.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQnFf2GDVZr_5TNI69Z7SerC5lfttsB1pgZkDv3QwCK1IfHiIW4vYgJwYXHwtP4ODYU5LVmZ8HCeJgf20jY8To2EFjhtA2VOJV6V1P5ULnnbZ-42fTv0xj4kMe03HCEDzFQnCjF8kUtpJY/s72-c/Pengertian+informasi.png

A

.

Advertiser

Ekonomi

Akuntansi

Kebidanan

Copyright © 2009-2013 Sarjanaku.com - All Rights Reserved
Powered by Blogger
http://optimize.innity.com/analytics/?pubid=3194&zoneid=37142&cb=1411482785627Blog Pendidikan IndonesiaMacam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya - Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
  1. Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
  2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
  3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.

 Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya        

Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.

Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
  1. Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
  2. Tafsir Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilma’tsur. 
  3. Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi.
  4. Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum.  Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi. 
  5. Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya  tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj  (tafsir campuran), karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.

 
Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya

1.  Metode Tahlily (metode Analisis)

Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai dengan bidang keahlian mufassir tersebut.
2.  Metode Ijmaly (metode Global)

Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.


3.  Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)

Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].

4.  Metode Maudhu’i (metode Tematik)

Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil

  1. Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
  2. Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar
Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya dibawah ini Ya !!

  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN2I0TLtDKc3T3w8CMAKhMapjc9dXPIO_B3tLmbTGSGRVmc-_jE5vZwgWKnONpGXmfxw66lzfCPiDHAT8E5JYGGuI-gnqZOeWi_GVCwnnGwR7ZT4hIFj2_Yjj2NuO3KRERprurHwEsOmI1/d/noimagethumb.gifPengertian TafsirKata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpen ... []
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN2I0TLtDKc3T3w8CMAKhMapjc9dXPIO_B3tLmbTGSGRVmc-_jE5vZwgWKnONpGXmfxw66lzfCPiDHAT8E5JYGGuI-gnqZOeWi_GVCwnnGwR7ZT4hIFj2_Yjj2NuO3KRERprurHwEsOmI1/d/noimagethumb.gifSejarah Perkembangan Tafsir Sejarah Perkembangan Tafsir - Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada s ... []
Posted by Sanjaya Yasin on - Rating: 4.5
Title : Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Description : Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya - Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Taf...
Share to

Makalah

Skripsi

15 Artikel Bermanfaat

Headlines by FeedBurner

Artikel Bermanfaat Lainnya

  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlCxq03R5LnHmBvzQBoE9M8q__1LAmXb0kRRoZU2PfOp1Dxge9fjeenR3p6I50CpsIcFHzCracAy1NndBz8I8hjXeFSVmIv_coMsvUBO82VAexHyXkqwJPCF7Yn4RddapkJ4tj6GdyWGvM/s72-c/Pendahuluan+Makalah.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjTTdIq8-8MhaTR68-Jmdazo2IyrcQBA-rQY0BndS4BoXP9zQnT8xOGZa68Tu1z8gxOL93bRe4833SIPWNwFaVUgG36rWpob0ub6XOQfwtM2aM1QQ0bb2RSQaIkIHeqXkoT8uKMA5FCdf-/s72-c/Pengertian+Kredit.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiAiJlNAGFQmW0vQ9BkQ7qhuZEhyphenhyphenBoGawbEws4rp-vutf8t6cWdPDDcH2d9XEyRj8Ihn0t2NdGwllnpnjAjk1VIilKGND3ZmBSfvLrw_4_Fc0DgxH5QVSDGO36ypKqEJ-tJkova8zrO5T-J/s72-c/Ukuran+Lapangan+Bola+Voli.gif
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiRDQfUH6wbr2RZkIZFVuAVyWV-xM-4-UTFwbnmyy0iBPY-pvXTsYZQtF5XtZRBIhPHQN4VwIqX6gcRMRehilW3KOAj7mR0l_8K415HSk9Y02CmA3Z23p6kD4T8YU-bFkXCXKIxBMhsRixq/s72-c/Kata+Pengantar.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjK_20r2BNrQKDKJcO0dNzQjlKP5mI6YQZl56NCdmL6wk4tZEV20XCpBxTAW6oXM3NvN6tpvxFAyZQAJLz9eftTGIQ0XLC8-hNtWnM3-tLA2qM-DUG68JIN47jl8ojOgEvMKd_l52gDzFyX/s72-c/Bimbingan+Konseling.jpg
  • https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQnFf2GDVZr_5TNI69Z7SerC5lfttsB1pgZkDv3QwCK1IfHiIW4vYgJwYXHwtP4ODYU5LVmZ8HCeJgf20jY8To2EFjhtA2VOJV6V1P5ULnnbZ-42fTv0xj4kMe03HCEDzFQnCjF8kUtpJY/s72-c/Pengertian+informasi.png

A

.

Advertiser

Ekonomi

Akuntansi

Kebidanan

Copyright © 2009-2013 Sarjanaku.com - All Rights Reserved
Powered by Blogger
*      Blog Pendidikan Indonesia
*       
TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH
A.  Pengertian Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah
  1. Tafsir
Tafsir menurut bahasa artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Adapun pengertian tafsir menurut para ulama yaitu sebagai berikut:[1]
  1. Menurut Al-Kilabi tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
  2. Menurut Syekh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dialah lafadz tersebut.[2]
  3. Menurut Az-Zakkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
  4. Sedangkan menurut Abu Hayyan tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna yang terkandung di dalamnya.[3]
  5. Menurut Al-Jurjani tafsir pada asalnya , ialah membukadan melahirkan. Dalam istilah syara’, ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafazh yang menunjukannya secara terang.[4]
  1. Takwil
Menurut lughat takwil adalah menerangkan dan menjelaskan. Adapun pengertian takwil menurut para ulama yaitu sebagai berikut:
  1. Menurut  Al-Jurzani takwil adalah memalingkan satu lafazh dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-sunnah.
  2. Menuurut ulama khalaf takwil adalah mengalihkan suatu lafazh dari makna yang rajih pada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.[5]
  3. Menurut sebagian ulama lain takwil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafazh.[6]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan takwil adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
  1. Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh Ash-Shabuni: “Memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.”
Pada dasarnya ada tiga corak penerjemahan, yaitu:
  1. Terjemah maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, tidak terikat oleh leterlek-nya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya (sinonim dengan tafsir)
  2. Terjamah harfiyah bi Al-mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (muradif) ke dalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
  3. Terjemah harfiyah bi dzuni Al-mistl, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya.
B.       Perbedaan Tafsir, Takwil dan Terjemah
Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di pihak lain adalah bahwa berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang aslinya bahasa Arab ke bahasa non Arab.
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir dan takwil:
-        Menurut Abu Ubaidah: “Tafsir dan takwil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisabury
-        Menurut Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal, sedangkan takwil lebih banyak dipakai mengenai  makna dan susunan kalimat.
-        Menurut setengah ulama : “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima selain dari satu arti. Sedangkan takwil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya.[7]
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan  bahwa perbedaan tafsir dan takwil yaitu:
  1. Tafsir itu lebih umum dari takwil karena dipakai dalam kitab Allah dan lainnya, sedangkan takwil itu lebih banyak digunakan dalam kitab Allah.
  2. Tafsir pada umumnya digunakan pada lafazh dan mufradat (kosakata), sedangkan takwil pda umumnya digunakan untuk menunjukan makna dan kalimat.
  3. Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalilyang menunjukan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
  4. Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan takwilberdasarkan dirayah.[8]
C.      Metode Tafsir
Ulama selalu berusaha untuk memahami kandungan al-Quran sejak masa ulama salaf sampai masa modern. Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran al-Quran, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Dari sekian banyak macam-macam tafsir, ulama mencoba membuat menglasifikasikan tafsir dengan sudut pandang yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika dilihat dari segi etnis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam yaitu:
  1. Tahlili
  2. Muqarran
  3. Ijmali
  4. Maudhu’i
D.      Corak Tafsir
Tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran, madzhab, dan disiplin ilmu yang ditekuni oleh mufassirnya, oleh karena itu buku-uku tafsir mempunyai  berbagai corak pemikiran dan madzhab. Diantara corak tafsir yaitu adalah sebagai berikut:[9]
1. Tafsir Shufi
Tafsir shufi yaitu suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori  atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis(at-tasawuf an-nazhary) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-‘amali).
2. Tafsir Falsafi
Yaitu suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya dalam menjelaskan suatu ayat, mufassir merujuk pendapat filosof. Persoalan yang diperbincangan dalam suatu ayat dimaknai berdasarkan pandangan para ahli filsafat.
3. Tafsir Fiqhi
Yaitu penafsiran al-Qur’an yang bercorak fiqih, diantara isi kandungan al-Qur’an adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Tafsir fiqih ini selain lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum , juga kadang-kadang diwarnai oleh ta’asub (fanatik). Buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqhi hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.
4. Tafsir ‘Ilmi
Yaitu tafsir yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains  eksakta. Tafsir ini selalu mengutiip teori-teori ilmiah yang berkaitan denagn ayat yang sedang ditafsirkan.  Seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, perterrnakan, dan lain-lain. Contoh tafsir yang bercorak ilmi yaitu: Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an Al-karim karya Thanthawi Jauhari dan Mafatih Al-Ghaib karya Ar-Razi, Khalq Al-Insan Bayna Ath-Thib Wa Al-Qur’an karya Muhammad Ali Al-Bar.
5. Corak Al-Adabi WaAl-Ijtima’i
Yaitu tafsir yang bercorak sastra kesopanan dan sosial. Dengan corak ini mufassir mengungkap keindahan dan ke agungan Al-Qur’an yang meliputi aspek balagah, mukjizat, makna, dan tujuannya. Mufassir berusaha menjelaskan sunnah yang terdapat pada alam dan sistem sosial yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan berusaha memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan umat islam pada khususnya, sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.[10]
KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian-pengertian pendapat para ulama  dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.
“Takwil” adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
“Terjemah” adalah memindahkan bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa ‘Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak mengerti bahasa ‘Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah SWt, dengan perantaraan terjemahan.
Bentuk penafsiran:
  1. Al-Ma’tsur
  2. Al-Ra’y
Metode penafsiran:
  1. Tahlili (analisis)
  2. Muqarran (perbandingan)
  3. Ijmali (global)
  4. Mawdhu’i (tematik)
Corak penafsiran:
  1. Tafsir shufy
  2. Tafsir falsafi
  3. Tafsir fiqhi
  4. Tafsir ‘ilmi
  5. Al-Adabi wa al-Ijtima’i
SEJARAH ILMU TAFSIR


Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar ).

1 Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.

2 Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman RaLMU TAFSIRsulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :

Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44).

Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :

وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة       kemudian Rasulullah bersabda :

ألا إن القوة الرمي“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.

Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.

Tafsir Pada Zaman Sahabat

Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.

Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.

Penafsiran sahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4

Tafsir Pada Zaman Tabi’in

Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:

1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.

2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5

Tafsir Pada Masa Pembukuan

Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;

Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.

Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.

Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat

غير المغضوب عليهم ولاالضالين

ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.

Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.

Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah:



Pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah
Metode penafsirannya terfokus pada shohihul manqul (riwayat yang shohih) dengan menggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah, penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para sahabat dan penafsiran al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in. Yang mana sangat teliti dalam menafsirkan ayat sesuai dengan riwayat yang ada. Dan penafsiran seperi inilah yang sangat ideal yang patut dikembangkan. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah :

1. Tafsir At-Tobary ((جامع البيان في تأويل أى القران terbit 12 jilid
2. Tafsir Ibnu Katsir (تفسير القران العظيم ) dengan 4 jilid
3. Tafsir Al-Baghowy معالم التنزيل )
4. Tafsir Imam As-Suyuty (الدر المنثور في التفسير بالمأثور ) terbit 6 jilid.

Kedua, Tafsir Bir-Ra’yi (Diroyah).

Metode ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

Ar-Ro’yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan beberapa syarat diantaranya:
1)- Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan as-sunnah
2)- Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bil ma’tsur, Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta perangkat-perangkatnya.

Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini diantaranya :
1. Tafsir Al-Qurtuby (الجامع لأحكام القران )
2. Tafsir Al-Jalalain (تفسير الجلالين)
3. Tafsir Al-Baidhowy (أنوارالتنزيل و أسرار التأويل).

Ar-Ro’yu Al- mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela / dilarang), karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath (pegambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan nilai-nilali syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para ahli bid’ah yang sengaja menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir priode sekarang ini. Diantara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah:

1. Tafsir Zamakhsyary (الكشاف عن حقائق التنزيل و عيون الأقاويل في وجوه التأويل )
2. Tafsir syiah “Dua belas” seperti (مرأة الأنوار و مشكاة الأسرار للمولي عبد اللطيف الكازاراني ) jugaمع البيان لعلوم القران لأبي الفضل الطبراسي
3. Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah seperti tafsir حقائف التفسير للسلمي و عرائس البيان في حقائق القران لأبي محمد الشيرازي

SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN


Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:

1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.

2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.

3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan para sahabat dan perkataan para tabi’in.

4)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.

5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,

6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.

Adapun adab yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.


CONTOH KITAB TAFSIR DAN METODOLOGI PENULISANNYA

Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary.

Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H)
Jumlah jilid : 12 jilid besar.

Keistimewaannya : Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.

Metodologi Penulisannya:
Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya.

Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum.

Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat).

Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).

2. Tafsir Ibnu Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah jilid : 4 Jilid
Nama penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H)
Keutamaanya : Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan
metode bil ma’tsur.

Metodologi penulisannya:
Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.

Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat.

Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.

3. Tafsir Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران
Jumlah jilid : 11 jilid dengan daftar isinya.
Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671 H).
Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti
dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob,
qiroat, nasikh dan mansukh”.

Metode penulisannya :
Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing.

Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (fanatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.

4. Tafsir Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy

Metodologi penulisannya:
Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat.

Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.

1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323.
2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-
qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342


SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERN


SEJARAH TAFSIR KLASIK DAN MODERN*

Oleh : Muchlis M. Hanafi**
Dipetik dari laman Blog: Pusat Studi al-Qur’an
Alamat: http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/202-sejarah-tafsir-klasik-dan-modern
Penulisan : Tahun 2010
Dipetik pada : 18 Januari 2012.

Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam ini sehinga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai hudan.

Sejarah Tafsir Klasik

Kendati pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d (5/216) di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w 97 H) ‘sepikulan’ onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu Abbas (w. 68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim surat kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari, “tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk kutipan di buku-buku tafsir”.

Buah pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir Thabary terekam sekitar 1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar menilai riwayat tersebut mengandung kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan diketahui ‘perantara’ antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah yaitu Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak relevan (Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal sering memuji karya tersebut yang pada masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).

Tafsiran Ibnu Abbas tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil ma`tsur), tetapi telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang maknanya tidak jelas dalam Alquran kepada Ibnu Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas menjelaskan maknanya satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung dari syair Arab jahily.

Tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah, Al-Dhahhak (w 105 H) dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).

Karya-karya mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada kajian kosa kata Alquran. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur tentang kosa kata Alquran (gharîb al-Qur`ân) pada abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w 141 H) dan Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) juga telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du`aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H), Yahya bin Ya`mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr bin al-`Ila (w. 145 H). Sayangnya, seperti halnya listeratur Islam klasik lainnya, banyak di antara karya tafsir yang muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan. Beberapa karya penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybâh wa al-Nazhâ`ir fi Al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w 150 H), Majâz al-Qur`ân karya Abu Ubaydah (w 210 H) dan Ma`âny al-Qur`ân karya al-Farra (w 207 H).

Upaya menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadis shahih, dalam karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Alquran yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat beberapa riwayat tafsir, meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abu Ubaidah.
Usaha pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi` al-Bayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat tafsir secara utuh karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut sebagai puncak karya tafsir bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.

Tafsir Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang muncul sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu semisal Gharîb al-Qur`ân dan Musykil al-Qur`ân karya Ibnu Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min al-Qur`ân al-Majîd karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya Abu Ja`far al-Nahhas (w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.

Tradisi periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad ke 5 H oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayân dan al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir; al-Wajîz, al-Wasîth dan al-Basîth.

Catatan negatif yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah bercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang dha`îf (lemah) bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan antara ular dan batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis, al-Baghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya cukup banyak memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim al-Tanzîl. Selain memuat pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa al-Bayân. Karya Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam al-Khazin (w 725 H) dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian al-Khazin sebagai seorang sufi yang menyenangi kisah-kisah aneh dalam nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk menukil kembali kisah-kisah yang ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari karyanya.

Di sisi lain penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H), al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.

Jika tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan barat, tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar al-Wajîz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak riwayat tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam pendekatan bahasa dan logika.

Pada abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Pesona keindahan balaghah Aquran yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak orang terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang berkhidmat kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang ada di dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf fi mâ tadhamanahu al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan sulit yang ada di dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w. 766 H) dan al-Thibiy (w. 786 H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ` al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani (w 792 H) dalam hâsyiyah-nya.

Sementara pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafâtîh al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi menyusun karyanya tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi warna sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.

Tak ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga mendasari banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhawiy (w 685 H). Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke 7 H Baidhawi menulis karyanya secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan mewakili aliran sunniy asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan al-Ghazali, Imam al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan Alquran didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian hikmah Alquran, filsafat, pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh al-Ghayb. Al-Baidhawi berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.

Dominasi Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya al-Baidhawi menjadi sangat populer. Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang membuat karya Zamakhsyari terus mendapat tempat di hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwâr al-Tanzîl melahirkan banyak karya dalam bentuk syarh dan hâsyiyah. Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan sebutan Haji Khalifah/ w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunûn) tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut saja misalnya Hâsyiyat Syeikh Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H), Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan lainnya. Jika ditambah dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti Hâsyiyat Al-Siyalakuti (w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H) yang berjudul `Inâyat al-Qâdhi wa Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53 hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.

Kemiripan antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat dilihat dengan membandingan hasyiyat keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baidhawi dalam karyanya banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis hasyiyat atas karya Zamakhsyari.

Tradisi meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang ulama saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w. 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir tersebut mengikuti metode yang dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baidhawi.

Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).

Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.

Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.

Tafsir di Era Modern

Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama. Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ dharbun minattamrin fil fun‎ûn kannahwi wal ma’âni waghayrihim (Tafsir al-Manar,1/24). Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”. Abduh berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,1/24). Dengan begitu, sudah pasti Alquran harus dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.

Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.

Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering diklasifikasikan dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher. Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.

A. Beberapa Tren Penafsiran Modern

I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.

A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan

Problem utama yang dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih dan memilah produk nilai dan norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd dzâtiy) ini mengharuskan para reformis islam untuk mengkaji ulang Alquran dan sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis islam dalam sepanjang sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.

Apa yang dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan lainnya.

Upaya tersebut paling tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila tidak, dapat dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain, usaha tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru peradaban Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk mengembalikan kejayaan turats peradaban islam. Satu hal yang patut disayangkan, penganut aliran in seringkali terkesan reaksioner dan lamban dalam mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekadar menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.

A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)

Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, seringkali dikutip dalam membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu, al-Ghazali mengajarkan bahwa Alquran hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa memahami Alquran tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.

Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.

Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat Alquran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish mencoba menengahi.

Munculnya tafsir ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan belas dunia islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab dan Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi seorang muslim, membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan teknik-teknik asing yang memungkinkan orang-orang Eropa menguasai umat islam sebenarnya telah disebut dan diramalkan di dalam Alquran, bisa menjadi pelipur lara. Inilah yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority Complex (perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha membangun rumah baru bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme budaya yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap kontradiktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki diri, dengan kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim ‘berhati islam, tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya ingin membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.

A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)

Di awal abad modern, kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.

Tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.

Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah gagasan yang telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif antara Barat dan Islam sejak dulu.

Sampai akhir hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi judul Min Hadyil Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Alquran modern.

B. Metodologi Penafsiran Modern

Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang menjadi kecenderungannya.

Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra (w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena diangap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.

Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat ditemukan. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis dunia islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya karya reformis lainnya seperti, al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tela. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis, terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar. Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini meski jarang menggunakan analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.

Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti telah disinggung, adalah metode maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqâ’iy. Kesemuanya berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan umat.

M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby nya sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara tematis, tidak menurut urutan mushaf.”

Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di IAIN. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat” generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya.

Quraish memberikan ilustrasi metode maudhi’iy (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas ‘katering’ masing-masing.

Bentuk lain dari metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang sering ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurahman al-Banna, saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia menawarkan suatu penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran bicara tentang perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai dalam jurnal al-Manar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan Syaltout yang mencurahkan pada persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn al-Madzahib).

Metode ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar, disebut dengan maudhu’iy muthlak (tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut maudhu’iy muqayyad (terikat). Agaknya ketiga metode inilah yang banyak digunakan dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir modern. Wallahua`lam.

Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Umat Islam


·   MUJAHID
 

Dia adalah Mujahid bin Jabr al-Makky, Mawla as-Sa`ib bin Abi as-Sa`ib al-Makhzumy, lahir pada tahun 21 H. Beliau mentransfer tafsir al-Qur’an dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu anhu.

Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah menyodorkan Mushaf kepada Ibn ‘Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan tentangnya kepadanya.”

Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.”

Asy-Syafi’i dan al-Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya di dalam kitab Shahih-nya.

Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.”

Beliau wafat pada tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun. 


·   QATADAH
 

Beliau adalah Qatadah bin Di’amah as-Sadusy al-Bashary, terlahir dalam keadaan buta pada tahun 61 H. Beliau giat menuntut ilmu dan memiliki hafalan yang kuat. Karena itu, beliau pernah berkisah tentang dirinya, “Aku tidak pernah mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Ulangi lagi.!’ Dan tidaklah kedua telingaku ini mendengar sesuatu apa pun melainkan langsung ditangkap oleh hatiku (langsung dapat menangkap dan mencernanya dengan baik-red.,).”

Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan ‘ada yang seperti dia’ maka ini bisa saja terjadi.”

Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidak lah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hafal.”

Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun.
--------
(SUMBER: Ushuul Fii ‘Ilm at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.37-38)

·   ATH-THABARIY
 

Nama Mufassir
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy, al-Imâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah.  Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H.

Nama Kitab
Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân

Spesifikasi Umum
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah di dalam mukaddimah Ushûl at-Tafsîr, hal.90: " Ia termasuk kitab tafsir bercorak Ma`tsûr yang paling agung dan paling besar kedudukannya. Beliau telah mengoleksi berbagai ilmu-ilmu al-Qur'an seperti Qirâ`ât (aspek-aspek bacaan), makna-maknanya, hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang-orang Arab, sya'ir dan sebagainya."

'Aqidahnya
Beliau memiliki sebuah buku seputar 'Aqidah Ahlussunnah yang diberinya judul "Sharîh as-Sunnah" (sudah dicetak). Sementara 'aqidahnya di dalam penafsiran, beliau adalah seorang imam panutan, membela madzhab Salaf, berargumentasi dengannya dan membelanya akan tetapi di dalam menetapkan sifat Ghadlab (marah) dan Hayâ` (malu), beliau menyebutkan semua pendapat Ahli Tafsir namun tidak menguatkan satupun darinya.

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau komitmen menyebutkan semua riwayat dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya. Kebanyaknya tidak ditanggapi beliau baik dengan menshahihkan ataupun melemahkannya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyebutkan hukum-hukum fiqih yang ada di dalam ayat, pendapat para ulama dan madzhab-madzhab mereka, memilih salah satu darinya dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan Ijma' umat di dalam pendapat yang telah dikuatkannya dari berbagai pendapat tersebut. Beliau adalah seorang Imam Mujtahid Muthlaq. Para Ahli Tafsir senantiasa merujuk pendapatnya dan mereka merasa berhutang budi padanya.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau termasuk ulama Qirâ`ât yang terkenal. Oleh karena itu, beliau amat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap Kitabullah Ta'ala.

Sikapnya Terhadap Isrâ`iliyyât (Kisah-Kisah Tentang Bani Israil)
Di dalam kitab tafsirnya, beliau mengetengahkan juga kabar-kabar dan kisah-kisah tentang Ka'b al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, as-Suddiy, lalu menanggapinya secara kritis akan tetapi tidak konsisten mengkritisi semua yang diriwayatkannya.

Sikapnya Terhadap Sya'ir, Nahwu Dan Bahasa
Kitabnya banyak sekali mencakup berbagai untaian yang berisi solusi bahasa dan Nahwu. Kitabnya meraih ketenaran yang sangat besar. Kebanyakannya, dia merujuk kepada Bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Beliau juga memaparkan sya'ir-sya'ir Arab Kuno, berargumentasi dengannnya secara luas, banyak mengemukakan pendapat-pendapat Ahli Nahwu dan mengarahkan pendapat-pendapat mereka serta menguatkan sebagian pendapat atas pendapat yang lain.
------
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, Hal.9-11)

·   Tafsir Ibn Katsir (Ibn Katsir)


Nama Mufassir
'Imâd ad-Dien, Abu al-Fidâ`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan.  Wafat tahun 774 H.

Nama Kitab
Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm

Spesifikasi Umum
Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir kategori Ma`tsûr yang paling masyhur dan menduduki peringkat ke-dua setelah Tafsir ath-Thabariy. 


Tafsir ini juga interes terhadap segi periwayatan, yaitu menafsirkan Kitabullah dengan hadits-hadits dan atsar-atsar yang langsung disandarkan kepada para periwayatnya. Pengarangnya juga sangat memperhatikan sisi penyebutan ayat-ayat yang serupa dengan ayat yang ingin ditafsirkannya, yang dinamakan dengan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`ân (penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri).

'Aqidahnya
Beliau ber'aqidah Salaf dan hal ini tidak perlu diherankan karena beliau adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahumallah.

Beliau memiliki sebuah kitab di dalam masalah 'aqidah berjudul "al-'Aqâ`id". Di dalam kitab ini, beliau menjelaskan 'aqidah Salaf berupa penetapan terhadap sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, mata, wajah, ilmu, kalam (bicara), ridla, Sakhth (murka), cinta, benci, senang, tertawa dengan tanpa menyebutkan Takyîf (bagaimana caranya), Tasybîh (penyerupaan), Tahrîf (perubahan) dan Tabdîl (penggantian). Di dalam kitab tafsirnya, beliau menetapkan kebanyakan sifat-sifat tersebut secara global sementara sebagian orang menafsirkannya dengan Lâzim ash-Shifah (konsekuensi sifat itu) mengikuti cara Imam ath-Thabariy, seperti sifat malu dan mata.

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan banyak hadits dan atsar dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya dan interes terhadap penilaian riwayat-riwayat dari sisi keshahihan dan kelemahannya serta menyebutkan sisi al-Jarh wa at-Ta'dîl (metode kelaikan periwayatan) terhadap para periwayat, sebab beliau adalah seorang Hâfizh yang mengenal seni-seni hadits dan para periwayatnya, di samping beberapa karya-karya tulis lainnya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau mengetengahkan diskusi-diskusi fiqih, pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum akan tetapi tidak terlalu melebar dan mengarahkan siapa saja yang ingin menambah wawasannya kepada beberapa kitab fiqih.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun dengan sangat ringkas.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau memiliki kelebihan dengan mengkritisi riwayat-riwayat yang bernuansa Isrâ`îliyyât dan secara umum memberikan peringatan akan hal itu serta biasanya mengkritisinya manaka menyinggung tentangnya.

Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Sangat sedikit sekali beliau mengetengahkan hal yang terkait dengan I'râb (penguraian kedudukan suatu kata di dalam kalimat) dan Nahwu, demikian pula halnya dengan masalah sya'ir.

-----------
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Ibn Katsir, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:
  • ad-Durar al-Kâminah, karya Ibn Hajar (I:399)
     
  • al-Badr ath-Thâli' karya az-Zarkasyiy (I:153)
     
  • Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (VI:231)
     
  • Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (I:111-113)
     
  • 'Umdah at-Tafsîr karya Syaikh Ahmad Syâkir
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.39-40)

·   Tafsir Al-Qurthubiy


Nama Mufassir
Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy.  Wafat tahun 671 H.

Nama Kitab
Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân

'Aqidahnya
Dia seorang penganut aliran Asya'riyyah dan pena'wil (Cara seperti ini menyimpang dari manhaj Salaf-red.). Hal ini dapat diketahui bila meneliti tafsirnya dan juga bukunya yang berjudul "al-Asnâ Fî Syarh Asmâ` al-Husnâ". Dalam bab Asmâ Wa ash-Shifât (Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah) beliau menukilnya dari para imam-imam aliran Asy'ariyyah seperti al-Juwainiy, al-Bâqillâniy, ar-Râziy, Ibn 'Athiyyah dan sebagainya.


Di dalamnya, beliau juga membantah terhadap Ahli Tasawwuf dan mengingkari prilaku-prilaku dan ucapan-ucapan mereka yang bertentangan dengan syari'at.

Spesifikasi Umum
Mengenai spesifikasi kitabnya, pengarangnya sendiri menyatakan, "Ia merupakan catatan ringkas yang berisi beberapa poin; tafsir, sisi bahasa, I'râb, Qirâ`ât, bantahan terhadap aliran yang menyimpang dan sesat dan hadits-hadits yang banyak sekali sebagai penegas terhadap hukum-hukum dan nuzul Ayat-ayat yang kami sebutkan, mengoleksi makna-maknanya dan menjelaskan ungkapan-ungkapan yang rumit dengan mengetengahkan ucapan-ucapan para ulama Salaf, demikian juga ulama Khalaf yang mengikuti mereka."

Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad
Beliau banyak mengetengahkan hadits-hadits Nabawi dan telah berjanji pada dirinya untuk menisbahkannya kepada para pengarangnya dan terkadang mengemukakan hadits-hadits tersebut tanpa sanad (mata rantai/jalur transmisi periwayatan) juga.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memaparkan secara panjang lebar ayat-ayat hukum, menyinggung berbagai permasalahan yang diperselisihkan dan terkait dengan ayat-ayat, baik dalam dimensi dekat ataupun jauh dengan menyertakan penjelasan dalil-dalil pendapat-pendapat tentang hal itu.

Beliau seorang yang Munshif (adil/moderat), tidak fanatik terhadap madzhabnya sendiri, yaitu madzhab Malikiy, tetapi tetap berjalan seiring dengan dalil.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun sedikit sekali.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Di dalam Mukaddimah kitabnya ini, beliau berkata, "Dan saya mengesampingkan banyak sekali kisah-kisah dan berita-berita yang ditulis oleh sejarawan, kecuali hal yang memang dianggap perlu."

Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Beliau menyinggung juga tentang I'râb, menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur'an yang asing,. Banyak sekali memutuskan sesuatu berdasarkan aspek bahasa, demikian juga mengambil dalil penegas dari sya'ir-sya'ir Arab.

------------

Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Imam al-Qurthubiy, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:

1. Thabaqât al-Mufassirîn karya Imam as-Suyûthiy (88)
2. Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (V:335)
3. Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (II:69-70)
4. Mu'jam al-Mufassirîn karya 'Adil Nuwaihidl (II:479)

(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.24-25)

·   Tafsir Al-Baghawiy


Mukaddimah
Inilah salah satu tafsir Salaf yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan penuntut ilmu sehingga di dalam menafsikan ayat-ayat, khususnya yang terkait dengan Asmâ` Allah dan Sifat-Nya terhindar dari takwil-takwil yang batil.

Nama Mufassir
Beliau adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud, yang lebih dikenal dengan al-Farrâ` al-Baghawiy, penghidup as-Sunnah, seorang Imam dan Hâfizh.

Nama Kitab
Ma'âlim at-Tanzîl.

Spesifikasi Umum
Beliau memaparkan ayat dengan sangat mudah dan ringkas. Buku ini aslinya adalah Mukhtashar (ringkasan) dari Tafsîr ats-Tsa'âlabiy akan tetapi beliau menjaga tafsir tersebut dari perkataan-perkataan bid'ah dan hadits-hadits Mawdlu'. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah di dalam bukunya Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, halaman 76.  Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf mengenai perbedaan pendapat di dalam tafsir dan tidak menguatkan satu riwayat atas riwayat yang lain.

'Aqidahnya
Beliau seorang yang ber'aqidah Salaf; menetapkan Asmâ` dan Shifât yang ditetapkan sendiri oleh Allah Ta'ala atas diri-Nya. Dalam hal ini, beliau telah menetapkan hal itu pada mukaddimah kitabnya yang amat berharga Syarh as-Sunnah. Di dalam tafsirnya tersebut, yang dominan adalah beliau menetapkan Asmâ` dan Shifât tersebut namun beliau ternyata juga terjebak ke dalam penakwilan terhadap sebagian Shifât Allah (padahal ini menyalahi manhaj ulama Salaf-red.,), seperti ar-Rahmah, al-Hayâ` (malu), al-Ghadlab (murka/marah). Ar-Rahmah lbeliau takwilkan dengan Irâdah Alllah al-Khair Li Ahlihi (kehendak Allah untuk berbuat baik terhadap pelakunya, I:18). Beliau juga menakwilkan al-Hayâ` dengan at-Tark wa al-Man'u (Membiarkan dan mencegah, I:43) dan al-Ghadlab dengan Irâdah al-Intiqâm (keinginan untuk mendendam, I:23).

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau biasanya menukil semua yang berasal dari ulama Salaf mengenai tafsir suatu ayat tanpa menyebutkan Isnâd -nya. Akan tetapi beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya hingga sampai kepada mereka itu pada mukaddimah Tafsirnya. Beliau biasanya amat selektif terhadap keshahihan hadits yang disandarkannya kepada Rasulullah. Sementara itu, beliau tidak peduli terhadap hadits-hadits Munkar dan Mawdlu' (palsu) namun terkadang meriwayatkan juga dari al-Kalbiy dan periwayat-periwayat lemah selainnya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Belaiu memaparkan juga permasalahan-permasalahan fiqih dengan gaya bahasa yang mudah dan menukil perbedaan yang ada tanpa mengupasnya secara panjang lebar.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau juga menyinggung tentang Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan ayat) tanpa bertele-tele.

Sikapnya Terhadap Isra`iliyyat
Beliau menyinggung tentang sebagian Isra`iliyyat namun tidak memberikan tanggapan atasnya.

Sikapnya Terhadap Masalah Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu
Beliau menghindari kupasan panjang lebar di dalam pembahasan I'râb (penguraian anak kalimat) dan hal-hal yang terkait dengan Balaghah namun menyinggung hal-hal yang memang urgen disebutkan untuk menyingkap makna suatu ayat.

-----
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdiy, h.14-15)

·          
    Tafsir AL-MANAR


Nama Mufassir
Muhammad  Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.  Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.

Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.

‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini, kiranya cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),  Beliau Mengatakan :
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Rabbnya atas hal itu. 


Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya: 


“Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).


 Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Dan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”

Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.

Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.

Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.


Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.

Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.
----------
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.59-65 

- Muhammad Rasyîd Ridla, Thawdun Wa Ishlâhun, Da’watun Wa Dâ’iyah karya Khalid bin Fawzy bin ‘Abdul Hamîd Alu Hamzah 


·       Tafsir AS-SA’DY

Nama Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)

Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan .

Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.

Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”

Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”

Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”

Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”

’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.

Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”

Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.

Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.

Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.

Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.

Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”

Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.

Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.

Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman alaihi salam., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”

Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]

Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair alaihi salam. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)

Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”

Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.

SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.

·    Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI

Nama Mufassir
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.

Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.

’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”

Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.

Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.

Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.

Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”

Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”

Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.

Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”

Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.

Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.

Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.

Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.

Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.

CATATAN

Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.

SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.


 AZ-ZAMAKHSYARI


Nama Mufassir
Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.

Nama Kitab
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.

Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.

Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’

Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah. Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya.

Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.

Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat
Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya, “Wallahu a’lam.”

Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.

(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi, hal.16-17)


B.       Macam-macam Corak Tafsir
1.    CORAK LUGHAWI
Ø Pengertian Lughawi
            Tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. Seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.

Ø Jenis-jenis Lughawi
            Sebelum menjelaskan jenis-jenis dan metode tafsir lughawi, perlu diketahui bahwa tafsir lughawi dengan berbagai macam penyajian dan pembahasannya tidak akan keluar dari dua kelompok besar yaitu:
§  Tafsir lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll.
§  Tafsir lughawi yang pembahasannya campur-baur dengan pembahasan lain seperti hukum, theology dan sejenisnya, seperti Tafsir al-Thabary li Ibn Jarir al-Thabary, Mafatih al-Ghaib li al-Fakhruddin al-Razy, dan sebagian besar tafsir dari awal hingga sekarang, termasuk Tafsir al-Mishbah yang disusun oleh Quraish Shihab.
            Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkelaborasikan bersama corak-corak yang lain.
            Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Tafsir nahwu atau i’rab al-Qur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal al-Qur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al-‘Akbary (w. 616 H)
2.      Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik dan semantik) yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu.
3.      Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll.
4.      Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaan-perumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab al-Amtsal min al-Kitab wa al-Sunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya al-Mawardi (w. 450 H), Majaz al-Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H)
5.      Tafsir qir’ah yaitu tafsir yang membahas macam-macam qira’ah seperti kitab Tahbir al-Taisir fi Qir’aat al-Aimmah al-‘Asyrah karya Muhammad bin Muhammad al-Jazry (w. 843 H).
6.      Tafsir klasifikasi bahasa yaitu tafsir yang mengkaji lafal-lafal yang murni bahasa arab dan yang tidak seperti kitab al-Muhadzzab fi Waqa’a fi al-Qur’an min al-Mu’arrab karya Jalaluddin al-Suyuthi.
7.      Dan tafsir-tafsir lughawi yang lain semisal tafsir Fawatih al-Hijaiyyah dll.

2.    CORAK ‘ILMI
Tafsri ‘Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat al qur’an berdasarkan pendekatan Ilmiyah atau menggali kandungan al qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta, atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang berfikir.”.
 Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini. Ada beberapa ulama yang menolak adanya penafsiran al-Qur’an secara ilmiah, terutama penafsiran model al-Fakhr al-Raziy dan Thanthawi Jawhari karena dianggap terlalu berlebihan dalam penafsiran ilmiah dan terkesan memaksakan diri membuat kaitan antara ayat-ayat al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Beberapa contoh penafsiran ilmiah diantaranya, penafsiran QS. Sl-Mursalaat ayat 30 oleh al-Marasi.
Artinya, “Pergilah kamu untuk mendapatkan naungan yang memiliki tiga buah cabang.”
3.    CORAK TASIR FIQH
Ø  Pengertian Corak Tafsir Fiqhi
 Corak Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan atau perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an. Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW, kemudian para shahabat.
Setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin (pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin..
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
Ø  Sistematika Tafsir Fiqhi
Dalam sistematika penulisan kitab tafsir dikenal adanya 3 sistematika:
a.    Mushafi  yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dengan memulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah dan seterusnya sampai surat al-Nas.
b.   Nuzuli yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kronologis turunnya surat-surat Al-Qur’an.
c.    Maudhu’i yaitu menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Al Qurtuby sebagai representasi dari tafsir fiqhi dalam menulis kitab tafsirnya memulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Dengan demikian ia memakai sistematika Mushafi, yaitu dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat  yang terdapat dalam mushaf.
Ø  Contoh tafsir fiqhi
واقيموالصّلاة وأتواالزّكاة واركعوامع الرّاكعين
(Surat Al Baqarah 43)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al Qurtubi membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah masalah ke 16. Dia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al Thawri, Malik dan Ashab Al Ra’yi. Dalam masalah ini al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, menurutnya anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik.
4.    CORAK FALSAFI
Tafsîr al-Falâsifah, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa. Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam.
 Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
5.    CORAK SHUFI
Ø  Pengertian Tafsir Sufi
  Tafsîr al-Shufiyah, yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini terbagi dalam dua bagian; tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi  isyary. Tafsir sufi nadzary adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Qur`an al-`Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya al-Sulami dan `Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Qur`an karya al-Syairazi. Tafsir sufi isyari ini bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, (1) ada dalil syar`i yang menguatkan, (2) tidak bertentangan dengan syari’at/rasio, (3) tidak menafikan makna zahir teks. Jika tidak memenuhi syarat ini, maka ditolak. Corak penafsiran Sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Qur’an secara potensial mengandung 4 tingkatan makna: Zhahir, Batin, Hadd, dan matla’.
Ø  Karakteristik Tafsir Sufi
a.    Tafsir Sufi Nazari
 Tafsir Sufi al-Nazari  adalah tafsir sufi yang  dibangun untuk mempromosikan  dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.  Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa  serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.  
 Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.  Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka.  Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. 

b.     Tafsir Sufi Isyari
 Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah:
فلا تجعلوا لله اندادا
 Al-Tastary  menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.  
 Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
 Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.

6.    CORAK ADABI DAN IJTIMA’I
Ø  Pengertian Adabi Ijtima’i
Tafsir adabi Ijtima’i sebagaimana disebutkan oleh al Farmawi adalah Corak tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al Qur’an pada Aspek ketelitian redaksinya lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk al Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

Ø  Tokoh-tokoh Adabi Ijtima’i 
Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya.
1.    Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2.    Tafsir Al-Maraghi, oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M).
3.    Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
4.    Tafsir Al-Wadhih, karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi. 

Ø  Literatur Tafsir Al-Qur'an Di Indonesia
1.    Tafsir bi al-Ma’tsur Pesan Moral Al-Qur'an, Karya Jalaluddin Rahmat.
2.    Tafsir Juz ‘Amma disertai Asbab al-Nuzul, Karya Rafi’uddin dan Edham Syifa’i.
3.    Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
4.    Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur'an, karya Mahasin.
5.    Konsep Kufr Dalam Al-Qur'an, karya Harifudin Cawidu.
6.    Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Qur'an, Karya Jalaludin Rahman.
7.    Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an, Karya Musa Asy’ari.
8.    Jiwa Dalam Al-Qur'an, karya Achmad Mubarok dll.

7.    CORAK BALAGHI DAN BAYANI
Corak Balaghi, yaitu jika seorang Mufassir menafsirkan Al Qur’an didasarkan pada segi Balaghohnya (Keindahan Perkataan dan Uslub Al Qur’an). Adapun contoh corak tafsir Balaghi tedapat pada tafsir Al Kasysyaf karya Al Zamakhsyari.

Sedangkan, Corak Bayani, yaitu tafsir pembahasannya berkisar pada Balaghotu al Qur’an dalam bentuk Ilmu bayan seperti Tasybih Isti’aroh, Tamsil, Washal, Fashal, dan cabang-cabangnya seperti penggunaan Makna Denotasi (Haqiqi) dan Majazi (Metafor) dan semacamnya.

Tafsir Balaghah meliputi tiga aspek yaitu:
§   Tafsir Ma’an al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata al-Qur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’an al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah.
§   Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint al-Syathi’.
§   Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ al-Qur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H)

8.      CORAK HARAKI
Corak Haraki, yaitu tafsir yang ditulis dan disusun oleh seorang tokoh pergerakan umat Islam. Dalam hal ini seorang mufassir berusaha menjelaskan Maksud Allah dalam al Qur’an, khususnya yang terkait dengan perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik. Tafsir Haraki ini tidak hanya bertujuan menafsirkan al Qur’an, tetapi juga mengajak umat untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan sosial yang lebih baik.dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya untuk mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar, mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroilliyat. Contoh tafsir Haraki adalah Tafsir Fi Zhilalil al Qur’an karya Sayyid Quthub


Tidak ada komentar:

Posting Komentar