Sabtu, 05 Desember 2015

SEJARAH AL-QUR'AN


 KATA PENGANTAR
                    Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua, semoga apa yang kita lakukan pada kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt.
Salawat dan salam kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang terang bercahaya.
Makalah dengan judul “Kodifikasi atau Jam’ul Qur’an”
yang ada dihadapan peserta seminar ini disusun berdasarkan petunjuk dosen pembimbing dalam mata Kuliah “Pendekatan dalam Pengkajian Islam I” dengan mengkaji berbagai jenis literatur yang terkait dengan pengkajian Islam, termasuk kajian khusus mengenai Ulumul Qur’an. Makalah ini mengurai sejarah pengumpulan hingga pembukuan Al-Qur’an menjadi sebuah mushaf resmi yang berlaku universal.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama kepada pemakalah. Namun pemakalah menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, jika terdapat hal-hal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan ataupun penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri untuk menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.
Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
                                     BAB I
2 )  PENDAHULUAN

A.      Latarbelakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.[3] Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.[4] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
2

Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[5]
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.

B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan untuk dibukukan?
2.      Atas dasar apa pembukuan Al-Qur’an dilakukan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an hingga dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[7]
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[8]
3

Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[9]
4

Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[10] yaitu:
1.      Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut  adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[11]
5

Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal  yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
6

B.       Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[14] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
7
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius  serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf  itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[15]
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf  yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf  ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf  yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
8

Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[16]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[17] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif  dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda.[18]
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[19]
9
 Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.

BAB III
PENUTUP
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1.      Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
2.      Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam  serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.

 1 ) Nuzulul Qur'an yang secara harfiah berarti turunnya Al Qur'an (kitab suci agama Islam) adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW.

Daftar isi

    1 Wahyu, Waktu dan tempat kejadian
    2 Sistematika Penyampaian Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW
    3 Peringatan Nuzulul Qur'an
    4 Ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W
    5 Lihat pula
    6 Referensi

Wahyu, Waktu dan tempat kejadian

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surat Al Alaq ayat 1-5 yang bila diterjemahkan menjadi :
    Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan
    Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
    Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
    Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
    Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya

Saat wahyu ini diturunkan Nabi Muhammad SAW sedang berada di Gua Hira, ketika tiba-tiba Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu tersebut. Adapun mengenai waktu atau tanggal tepatnya kejadian tersebut, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, sebagian menyakini peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabiul Awal pada tanggal 8 atau 18 (tanggal 18 berdasarkan riwayat Ibnu Umar), sebagian lainnya pada bulan Rajab pada tanggal 17 atau 27 menurut riwayat Abu Hurairah, dan lainnya adalah pada bulan Ramadhan pada tanggal 17 (Al-Bara' bin Azib) ,21 (Syekh Al-Mubarakfuriy) dan 24 (Aisyah, Jabir dan Watsilah bin Asqo' ) [1]
Sistematika Penyampaian Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW
Sistimatika turunnya Al-qur'an kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara:

    Malaikat Jibril langsung memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi SAW tidak melihat apapun, hanya beliau merasa ayat tersebut sudah berada di dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan “Ruhul kudus (istilah lain untuk malaikat Jibril) mewahyukan kedalam kalbuku” [lihat surat (42) Asy Suura:51]
    Malaikat menampakkan dirinya kepda Nabi SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal kata-kata itu.
    Wahyu datang kepada Nabi SAW secara tiba-tiba seperti gemerincing lonceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi SAW. Kadang-kadang pada keningnya berpencaran keringat, meskipun turunya wahyu tersebut saat cuaca yang sangat dingin. Kadang- kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu tersebut turun ketika beliau sedang naik unta. Cara seperti ini seperti dalam kisah di atas.

Peringatan Nuzulul Qur'an
Sebagian muslim, memperingati waktu terjadinya peristiwa tersebut secara khusus. Di Indonesia setiap tanggal 17 Ramadhan, biasanya dilakukan ceramah atau pengajian khusus bertemakan Nuzulul Qur'an. Dilihat dari pada bulan yang disuruh kita berpuasa sebulan penuh maka turunnya Al Quran terjadi pada bulan ramadhan. Dan dilihat dari pada 10 hari terakhir pada bulan ramadhan turunnya lailatul qadar maka tentunya turunnya al quran terjadi pada 10 malam terakhir pada bulan ramadhan dan diikuti pada bulan2 selanjutnya. Dan menurut menurut musnad Imam Ahmad, turunnya Al-Qur'an pada tanggal 24 Ramadhan, namun masih ada perbedaan pendapat antara ulama. namun yang paling masyhur adalah tanggal 17 Ramadhan
Ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W
Diriwayatkan bahwa surah Al-Maidah ayat 3 diturunkan pada waktu sesudah ashar yaitu pada hari Jum'at di Padang Arafah pada musim haji terakhir [Wada].
Pada masa itu Rasulullah s.a.w. berada di Arafah di atas unta. Ketika ayat ini turun Rasulullah SAW. tidak begitu jelas menangkap isi dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Kemudian Rasulullah SAW. bersandar pada unta beliau, dan unta beliau pun duduk perlahan-lahan.*

Setelah itu turun malaikat Jibril a.s. dan berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu, maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.dan demikian juga apa yang terlarang olehnya. Karena itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu denganmu.”

Setelah itu Malaikat Jibril a.s. pergi, maka Rasulullah SAW. pun berangkat ke Mekah dan terus pergi ke Madinah.Setelah Rasulullah SAW. mengumpulkan para sahabat beliau, maka Rasulullah SAW. pun menceritakan apa yang telah diberitahu oleh malaikat Jibril a.s. Ketika para sahabat mendengar hal yang demikian maka mereka pun gembira sambil berkata: “Agama kita telah sempurna. Agama kila telah sempuna.”

Namun ketika Abu Bakar r.a. mendengar keterangan Rasulullah SAW. itu, maka ia tidak dapat menahan kesedihannya maka ia pun kembali ke rumah lalu mengunci pintu dan menangis dengan kuat. Abu Bakar ra. menangis dari pagi hingga malam.

Kisah tentang Abu Bakar r.a. menangis telah sampai kepada para sahabat yang lain, maka berkumpullah para sahabat di hadapan rumah Abu Bakar r.a. dan mereka berkata: “Wahai Abu Bakar, apakah yang telah membuat kamu menangis sehingga begini sekali keadaanmu? Seharusnya kamu berasa gembira sebab agama kita telah sempurna.” Mendengarkan pertanyaan dari para sahabat maka Abu Bakar r.a. pun berkata: “Wahai para sahabatku, kalian semua tidak tahu tentang musibah yang menimpa kamu, tidakkah kalian tahu bahawa apabila sesuatu perkara itu telah sempurna menunjukkan bahwa perpisahan kita dengan Rasulullah SAW telah dekat. Hasan dan Husin menjadi yatim dan para isteri nabi menjadi janda.”

Setelah mereka mendengar penjelasan dari Abu Bakar r.a. maka sadarlah mereka akan kebenaran kata-kata Abu Bakar r.a., lalu mereka menangis. Tangisan mereka telah didengar oleh para sahabat yang lain, maka mereka pun terus beritahu Rasulullah s.a.w. tentang apa yang mereka lihat itu. Berkata salah seorang dari para sahabat: “Ya Rasulullah SAW., kami baru kembali dari rumah Abu Bakar r.a. dan kami mendapati banyak orang menangis dengan suara yang kuat di hadapan rumah beliau.” Ketika Rasulullah SAW. mendengar keterangan dari para sahabat, maka berubahlah muka Rasulullah SAW. dan dengan bergegas beliau menuju ke rumah Abu Bakar r.a..

Sesampainya Rasulullah SAW. di rumah Abu Bakar r.a., maka Rasulullah SAW. melihat para sahabatnya sedang menangis dan bertanya: “Wahai para sahabatku, mengapa kamu semua menangis?.” Kemudian Ali r.a. berkata: “Ya Rasulullah SAW., Abu Bakar r.a. mengatakan dengan turunnya ayat ini membawa tanda bahwa waktu wafatmu telah dekat. Benarkah ini ya Rasulullah?.” Lalu Rasulullah SAW. berkata: “Semua yang dikatakan oleh Abu Bakar r.a. adalah benar, dan sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kamu semua telah hampir dekat.”

Abu Bakar r.a. mendengar pengakuan Rasulullah SAW., maka ia pun menangis sekuat tenaganya sehingga ia jatuh pingsan, sementara Ali r.a. pula gemetar seluruh tubuhnya. Dan para sahabat yang lain menangis dengan sekuat-kuatnya yang mereka mampu..

Pada saat sudah dekat ajal Rasulullah SAW., beliau menyuruh Bilal azan untuk mengerjakan shalat, lalu berkumpul para Muhajirin dan Anshar di masjid Rasulullah SAW.. Kemudian Rasulullah SAW. menunaikan shalat dua raka’at bersama semua yang hadir. Setelah selesai mengerjakan shalat beliau bangun dan naik ke atas mimbar dan berkata:

“Alhamdulillah, wahai para muslimin, sesungguhnya saya adalah seorang nabi yang diutus dan mengajak orang kepada jalan Allah dengan izinnya. Dan saya ini adalah sebagai saudara kandung kalian, yang kasih sayang pada kalian semua seperti seorang ayah. Oleh karena itu kalau ada yang mempunyai hak untuk menuntutku, maka hendaklah ia bangun dan balaslah saya sebelum saya dituntut di hari kiamat.”

Rasulullah SAW. berkata demikian sebanyak 3 kali kemudian bangunlah seorang lelaki yang bernama ‘Ukasyah bin Muhshan dan berkata:

“Demi ayahku dan ibuku ya Rasulullah SAW, kalau anda tidak mengumumkan kepada kami berkali-kali sudah tentu saya tidak mau melakukan hal ini.”

Lalu ‘Ukasyah berkata lagi:

“Sesungguhnya dalam Perang Badar saya bersamamu ya Rasulullah, pada masa itu saya mengikuti unta anda dari belakang, setelah dekat saya pun turun menghampiri anda dengan tujuan supaya saya dapat mencium paha anda, tetapi anda telah mengambil tongkat dan memukul unta anda untuk berjalan cepat, yang mana pada masa itu saya pun anda pukul pada tulang rusuk saya. Oleh itu saya ingin tahu sama anda sengaja memukul saya atau hendak memukul unta tersebut.”

Rasulullah SAW. berkata: “Wahai ‘Ukasyah, Rasulullah SAW. sengaja memukul kamu.” [Rasulullah SAW melakukan pemukulan tersebut karena beliau tidak ingin dikultuskan oleh manusia termasuk sahabatnya itu. pen] Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Bilal r.a.: “Wahai Bilal, kamu pergi ke rumah Fatimah dan ambilkan tongkatku ke mari.” Bilal keluar dari masjid menuju ke rumah Fatimah sambil meletakkan tangannya di atas kepala dengan berkata: “Rasulullah telah menyediakan dirinya untuk dibalas [diqishash].”

Setelah Bilal sampai di rumah Fatimah maka Bilal pun memberi salam dan mengetuk pintu. Kemudian Fatimah r.a. menyahut dengan berkata: “Siapakah di pintu?.” Lalu Bilal r.a. berkata: “Saya Bilal, saya telah diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk mengambil tongkat beliau.” Kemudian Fatimah r.a. berkata: “Wahai Bilal, untuk apa ayahku minta tongkatnya.” Berkata Bilal r.a.: “Wahai Fatimah, Rasulullah s.a.w. telah menyediakan dirinya untuk diqishash.” Bertanya Fatimah. r.a. lagi: “Wahai Bilal, siapakah manusia yang sampai hatinya untuk menqishash Rasulullah SAW.?.” Bilal r.a. tidak menjawab pertanyaan Fatimah r.a., segeralah Fatimah r.a. memberikan tongkat tersebut, maka Bilal pun membawa tongkat itu kepada Rasulullah SAW.

Setelah Rasulullah SAW. menerima tongkat tersebut dari Bilal r.a. maka beliau pun menyerahkan kepada ‘Ukasyah. Bilal masuk sambil membawa cambuk dan memberikannya kepada Rasulullah SAW. Setelah itu, Bilal kembali ke tempat duduknya sambil menatap tajam Ukasyah bin Muhsin. Namun, yang ditatap tetap tampak tenang dan tetap bergeming oleh kegelisahan di sekelilingnya. Orang seperti apakah Ukasyah ini? Bagaimana ia bisa sampai hati menuntut Rasul SAW. untuk menerima cambukannya? Bukankah Ukasyah juga tahu bahwa beliau saw. tidak sengaja? Bukankah Ukasyah juga tahu bahwa memaafkan itu jauh lebih mulia? Bukankah Ukasyah juga melihat bahwa Rasulullah saw. saat itu sudah berusia enam puluh tiga tahun? Bukankah keimanan Ukasyah kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai pejuang Badar sudah tidak diragukan lagi? Kenapa bisa begini ya, Ukasyah? Kenapa? dipenuhi pikiran seperti itu, para sahabat Anshar dan Muhajirin menatap bolak-balik antara Rasulullah SAW. dan Ukasyah dengan perasaan tegang. Ketegangan itu berubah menjadi keheningan yang mencekam ketika Rasulullah SAW. memberikan cambuknya kepada Ukasyah. Begitu tangan Ukasyah bin Muhsin meraih cambuk dan menguraikannya dengan tenang dan perlahan, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab berdiri serempak. Sorot mata keduanya yang biasa tenang kini menyala seperti sedang berhadapan dengan musuh di medan tempur. Mereka berdua berkata, “Hai Ukasyah! Kami sekarang berada di hadapanmu! Pukul dan qisaslah kami berdua sepuasmu dan jangan sekali-kali engkau pukul Rasulullah SAW.!” Suasana jadi mencekam sejenak karena Ukasyah tampak tidak mempedulikan mereka. Sementara Abu Bakar dan Umar tetap berdiri menantang. Namun, dengan lembut, Rasulullah SAW. berkata kepada kedua sahabat terkasihnya itu, “Duduklah kalian berdua. Allah telah mengetahui kedudukan kalian.” Hanya karena Rasulullah SAW yang berkatalah, maka Abu Bakar dan Umar duduk. Namun, mata mereka tetap menatap Ukasyah. Tiba-tiba, seseorang kemudian berdiri pula dan kembali menatap Ukasyah dengan pandangan menantang. Orang ini juga sangat dikasihi Rasulullah saw, lelaki gagah itu adalah Ali bin Abi Thalib yang langsung berkata, “Hai Ukasyah! Aku ini sekarang masih hidup di hadapan Nabi SAW. Aku tidak sampai hati melihat kalau engkau akan mengambil kesempatan qisas memukul Rasulullah. Inilah punggungku, maka qisaslah aku dengan tanganmu dan deralah aku semaumu dengan tangan engkau sendiri!” Namun, Ukasyah seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Ali r.a. Tangannya terlihat semakin erat menggenggam cambuk. Setelah Ali berkata begitu, Rasulullah SAW. cepat-cepat menukasnya dan meminta Ali kembali duduk, “Allah Swt. telah tahu kedudukanmu dan niatmu, wahai Ali!” Setelah itu cucu Rasulullah Hasan dan Husin bangun dengan berkata: “Wahai ‘Ukasyah, bukankah kamu tidak tahu bahwa kami ini adalah cucu Rasulullah SAW., kalau kamu menqishash kami sama dengan kamu menqishash Rasulullah SAW.” Mendengar kata-kata cucunya Rasulullah SAW. pun berkata: “Wahai buah hatiku, duduklah kalian berdua.” Berkata Rasulullah s.a.w. “Wahai ‘Ukasyah pukullah saya kalau kamu hendak memukul.” Kemudian ‘Ukasyah berkata: “Ya Rasulullah SAW., anda telah memukul saya sewaktu saya tidak memakai baju.” Maka Rasulullah SAW. pun membuka baju, terlihatlah kulit baginda yang putih dan halus maka menangislah semua yang hadir.

seketika ‘Ukasyah melihat tubuh badan Rasulullah SAW. maka ia pun memeluk beliau dan berkata; “Saya tebus anda dengan jiwa saya, ya Rasulullah SAW. siapakah yang sanggup memukul anda. Saya melakukan begini karena saya hendak menyentuh badan anda yang dimuliakan oleh Allah s.w.t dengan badan saya. Dan Allah s.w.t. menjaga saya dari neraka dengan kehormatanmu.” Kemudian Rasulullah SAW. berkata: “Dengarlah kamu sekalian, sekiranya kamu hendak melihat ahli syurga, inilah orangnya.”

Kemudian semua para jemaah bersalam-salaman atas kegembiraan mereka terhadap peristiwa yang sangat genting itu. Setelah itu para jemaah pun berkata: “Wahai ‘Ukasyah, inilah keuntungan yang paling besar bagimu, engkau telah memperolehi derajat yang tinggi dan bertemankan Rasulullah s.a.w. di dalam syurga.”

Ketika ajal Rasulullah s.a.w hampir dekat maka beliau pun memanggil para sahabat ke rumah Siti Aisyah r.a. dan beliau berkata: “Selamat datang kamu semua semoga Allah s.w.t. mengasihi kamu semua, saya berwasiat kepada kamu semua agar kamu semua bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan mentaati segala perintahnya. Sesungguhnya hari perpisahan antara saya dengan kamu semua hampir dekat, dan dekat pula saat kembalinya seorang hamba kepada Allah s.w.t dan menempatkannya di syurga. Kalau telah sampai ajalku maka hendaklah Ali yang memandikanku, Fadhl bin Abas hendaklah menuangkan air dan Usamah bin Zaid hendaklah menolong keduanya. Setelah itu kamu kafanilah aku dengan pakaianku sendiri apabila kamu semua menghendaki, atau kafanilah aku dengan kain yaman yang putih. Apabila kamu memandikan aku, maka hendaklah kamu letakkan aku di atas balai tempat tidurku dalam rumahku ini. Setelah itu kamu semua keluarlah sebentar meninggalkan aku. Pertama yang akan menshalatkan aku ialah Allah s.w.t [bahasa kiasan. pen], kemudian yang akan menshalati aku ialah Jibril a.s, kemudian diikuti oleh malaikat Israfil, malaikat Mikail, dan yang terakhir malaikat lzrail berserta dengan semua para pembantunya.Setelah itu baru kamu semua masuk bersama-sama mensholati aku.”

Manakala para sahabat mendengar ucapan yang sungguh menyayat hati itu maka mereka pun menangis dengan nada yang keras dan berkata: “Ya Rasulullah s.a.w. anda adalah seorang Rasul yang diutus kepada kami dan untuk semua, yang mana selama ini anda memberi kekuatan dalam memimpin kami dan sebagai Rasul yang meluruskan perkara kami. Apabila anda sudah tiada nanti kepada siapakah yang akan kami tanya setiap persoalan yang timbul nanti?.” Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata: “Dengarlah para sahabatku, aku tinggalkan kepada kamu semua jalan yang benar dan jalan yang terang, dan telah aku tinggalkan kepada kamu semua dua penasehat yang satu pandai bicara dan yang satu diam. Yang pandai bicara itu ialah Al-Quran dan yang diam itu ialah maut. Apabila ada sesuatu persoalan yang rumit di antara kamu, maka hendaklah kamu semua kembali kepada Al-Quran dan Hadis-ku dan apabila hati kamu keras maka lembutkan dia dengan mengambil pelajaran dari mati.”

Setelah Rasulullah s.a.w. berkata demikian, maka sakit Rasulullah s.a.w. berawal. Dalam bulan safar Rasulullah s.a.w. sakit selama 18 hari dan sering dikunjungi oleh para sahabat. Menurut riwayat bahwa Rasulullah s.a.w. diutus pada hari Senin dan wafat pada hari Senin. Pada hari Senin penyakit Rasulullah s.a.w. bertambah berat, setelah Bilal r.a. selesaikan azan subuh, maka Bilal r.a. pun pergi ke rumah Rasulullah s.a.w.. Sesampainya Bilal r.a. di rumah Rasulullah s.a.w. maka Bilal r.a. pun memberi salam: “Assalaarnualaika ya rasulullah.” Lalu dijawab oleh Fatimah r.a.: “Rasulullah s.a.w. masih sibuk dengan urusan beliau.” Setelah Bilal r.a. mendengar penjelasan dari Fatimah r.a. maka Bilal r.a. pun kembali ke masjid tanpa memahami kata-kata Fatimah r.a. itu.

Ketika waktu subuh datang, lalu Bilal pergi sekali lagi ke rumah Rasulullah s.a.w. dan memberi salam seperti permulaan tadi, kali ini salam Bilal r.a. telah di dengar oleh Rasulullah s.a.w. dan baginda berkata; “Masuklah wahai bilal, sesungguhnya penyakitku ini semakin berat, oleh itu kamu suruhlah Abu Bakar menjadi imam shalat subuh berjamaah dengan mereka yang hadir.” Setelah mendengar kata-kata Rasulullah s.a.w. maka Bilal r.a. pun berjalan menuju ke masjid sambil meletakkan tangan di atas kepala dengan berkata: “Aduh musibah.” Sesampai di masjid maka Bilal r.a. pun memberitahu Abu Bakar tentang apa yang telah Rasulullah s.a.w. katakan kepadanya.

Abu Bakar r.a. tidak dapat menahan dirinya apabila ia melihat mimbar kosong maka dengan suara yang keras Abu Bakar r.a. menangis sehingga ia jatuh pengsan. Melihat peristiwa ini maka riuh rendah dalam masjid, sehingga Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Fatimah r.a.; “Wahai Fatimah apakah yang telah terjadi?.” Maka Fatimah r.a. pun berkata: “Kekacauan kaum muslimin, sebab anda tidak pergi ke masjid.” Kemudian Rasulullah s.a.w. memanggil Ali r.a. dan Fadhl bin Abas, lalu Rasulullah s.a.w. bersandar kepada keduanya untuk pergi ke masjid. Setelah Rasulullah s.a.w. sampai di masjid maka beliau pun bershalat subuh bersama dengan para jamaah.

Setelah selesai shalat subuh maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: “Wahai kaum muslimin, kamu semua sentiasa dalam pertolongan dan pemeliharaan Allah, karena itu hendaklah kamu semua bertaqwa kepada Allah s.w.t. dan mengerjakan segala perintahnya. Sesungguhnya aku akan meninggalkan dunia ini dan kamu semua, dan hari ini adalah hari pertama aku di akhirat dan hari terakhir aku di dunia.”

Setelah berkala demikian maka Rasulullah s.a.w. pun pulang ke rumah beliau. Bunda Aisyah memandang Rasulullah saw. dengan penuh sayang. Biasanya, hati Bunda Aisyah dipenuhi kekaguman akan kegagahan suaminya tercinta itu. Sekarang, hati Bunda Aisyah dipenuhi rasa iba melihat suaminya itu dalam keadaan lemah dan sakit. Ingin rasanya Bunda Aisyah mencurahkan segala apa yang ada dalam dirinya untuk mengembalikan tenaga dan hidup suaminya. Namun, setelah kembali dari masjid, Rasulullah merasa bahwa setiap saat, badan beliau menjadi bertambah lemah. Hari itu tanggal 8 Juni tahun 632 M. Beliau meminta sebuah bejana berisi air dingin. Kemudian, meletakkan tangan beliau ke dalam air itu dan mengusapkan air ke wajahnya. Ada seorang laki-laki anggota keluarga Abu Bakar yang berkunjung dan membawa siwak. Beliau saw. memandang siwak itu demikian rupa yang menunjukkan bahwa beliau ingin bersiwak. Maka, Bunda Aisyah melunakkan ujung siwak itu dengan giginya, dan Rasulullah saw. pun menggosok dan membersihkan gigi beliau [Ini yang di maksud dalam Hadits bahwa ludah Bunda Aisyah bertemu dengan ludah Rasulullah SAW]. Kemudian Allah s.w.t. mewahyukan kepada malaikat lzrail: “Wahai lzrail, pergilah kamu kepada kekasihku dengan sebaik-baik rupa, dan apabila kamu hendak mencabut rohnya maka hendaklah kamu melakukan dengan cara yang paling lembut. Apabila kamu pergi ke rumahnya maka minta izinlah terlebih dahulu, kalau ia izinkan kamu masuk, maka masuklah kamu ke rumahnya dan kalau ia tidak izinkan kamu masuk maka hendaklah kamu kembali padaku.”

sesudah malaikat lzrail mendapat perintah dari Allah s.w.t. maka malaikal lzrail pun turun dengan menyerupai orang Arab Badui. Setelah malaikat lzrail sampai di depan rumah Rasulullah s.a.w. maka ia pun memberi salam,Tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara orang berseru mengucapkan salam,”Bolehkah aku masuk?”Tanya si tetamu itu, ketika puteri Rasulullah,Fatimah az-zahra membuka pintu.

Tapi Fatimah tidak mengizinkannya.”maafkanlah,ayahku sedang deman” kata Fatimah.Pintu di tutup dan beliau kembali menemani ayahnya yang sedang berbaring di pembaringan. Kemudian malaikat lzrail mengulangi lagi salamnya, dan kali ini seruan malaikat itu telah didengar oleh Rasulullah s.a.w

Rasululullah memandang puterinya itu dan bertanya,”siapakah itu wahai anakku?”

“Tak tahulah ayah,baru sekali ini saya melihatnya.” tutur Fatimah lembut.Lalu,Rasulullah menatap wajah puterinya itu dengan padangan yang menggetarkan.Renungannya cukup sayu seolah-olah bahagian demi bahagian wajah putrinya itu hendak dikenang. Bertanda bahwa beliau akan segera berpisah dengan putri kesayanganya itu.

“Ketahuilah anakku bahwa dialah yang mehapuskan kenikmatan sementara dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.Dialah malaikat maut.” Kata-kata Rasulullah menyebabkan Fatimah ditimpa kesedihan yang amat sangat.

Ketika Rasullullah s.a.w. mendengar tangisan Fatimah r.a. maka beliau pun berkata: “Janganlah kamu menangis wahai anakku, engkaulah orang yang pertama dalam keluargaku akan bertemu denganku.” Fatimah-pun tersenyum. Kemudian Rasulullah s.a.w. pun menjemput malaikat lzrail masuk. Maka malaikat lzrail pun masuk dengan mengucap: “Assalamuaalaikum ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah s.a.w. menjawab: “Wa alaikas saalamu, wahai lzrail engkau datang mengunjungiku atau untuk mencabut rohku?” Maka berkata malaikat lzrail: “Kedatangan saya adalah untuk mengunjungimu dan untuk mencabut rohmu, itupun kalau anda izinkan, kalau anda tidak izinkan maka aku akan kembali.” Berkata Rasulullah s.a.w.: “Wahai lzrail, di manakah kamu tinggalkan Jibril?” Berkata lzrail: “Saya tinggalkan Jibril di langit dunia, semua para malaikat sedang memuliakan dia.” [Malaikat Jibril adalah salah satu malaikat yang memiliki kedudukan paling utama].”Bolehkah aku minta Jibril untuk turun?” Kata Rasulullah SAW pada Izrail.

Tidak beberapa saat kemudian Jibril a.s. pun turun dan duduk dekat kepala Rasulullah s.a.w. Melihat kedatangan Jibril a.s. maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: “Wahai Jibril, tahukah engkau bahwa ajalku sudah dekat” Berkata Jibril a.s.: “Ya aku memang tahu.” Rasulullah s.a.w. bertanya lagi: “Wahai Jibril, beritahu kepadaku kemuliaan yang menggembirakan aku disisi Allah s.w.t.” Berkata Jibril a.s.: “Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat bersusun rapi menanti rohmu dilangit. Semua pintu-pintu syurga telah dibuka, dan Semua bidadari sudah berhias menanti kehadiran rohmu.”

Berkata Rasulullah s.a.w.: “Alhamdulillah, Namun sesungguhnya, bukan itu yang kutanyakan. wahai Jibril, gembirakanlah aku dengan keadaan umatku pada hari Kiamat nanti.” [Inilah orang yang begitu mulia. Pada saat ajalnya telah menjelang dan diberi kabar gembira tentang kehormatan yang akan diterimanya di langit, justru ia baru akan bisa gembira jika telah mendengar kabar tentang nasib umatnya nanti,betapa besarnya kasih sayang Rasulullah saw. kepada kita] Kemudian Jibril berkata lembut menghibur dan menenangkan, “Aku beri engkau kabar gembira bahwa Allah Swt. telah berfirman, ‘Sesungguhnya, Aku telah mengharamkan surga bagi semua Nabi sebelum engkau memasukinya terlebih dahulu. Allah mengharamkan pula surga itu kepada sekalian umat manusia sebelum umatmu terlebih dahulu memasukinya.” [Betapa ruginya manusia yang dilahirkan sebagai umat Rasulullah SAW namun tidak taat pada risalahnya]. Maka, menarik napas legalah Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sekarang, barulah senang hatiku dan hilang susahku.” Kemudian, Rasulullah saw. menoleh kepada Malaikat Maut dan bersabda: “Wahai lzrail, dekatlah kamu kepadaku.”

Setelah itu Malaikat lzrail pun memulai tugasnya, ketika roh nya sampai di dada, maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: “Wahai Jibril, alangkah dahsyatnya rasa mati” Jibril a.s. memalingkan pandangan dari Rasulullah s.a.w. ketika mendengar kata-kata beliau itu. Melihat tingkah laku Jibril a.s tersebut .maka Rasulullah s.a.w. pun berkata: “Wahai Jibril, apakah kamu tidak suka melihat wajahku?” Jibril a.s. berkata: “Wahai kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat wajahmu dikala kamu dalam sakaratul maut?”

Anas bin Malik r.a. berkata: “Ketika roh Rasulullah s.a.w. telah sampai di dada beliau telah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kamu agar kamu semua menjaga shalat dan apa-apa yang telah diperintahkan ke atasmu.” Ali r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. ketika menjelang saat-saat terakhir, telah mengerakkan kedua bibir beliau sebanyak dua kali, dan saya meletakkan telinga, saya dengan Rasulullah s.a.w. berkata: “Umatku, umatku.”

Hikmah dari kisah : - Rasulullah adalah pemimpin yang bertanggung jawab dan tidak dzolim sehingga beliau merelakan tubuhnya untuk di qisash (di hukum balas),karena beliau takut pernah mendzolimi orang lain. - Rasulullah adalah pemimpin yang sangat di cintai umat dan para sahabatnya sehingga ketika mengetahui ajal Rasul sudah dekat menangislah semua sahabat. - Rasulullah sangat mencintai kita sebagai umatnya sehingga detik-detik terakhir menjelang wafat beliau berkata ummati,ummati sampai tiga kali,bukan keluarga beliau ataupun Istri-istri beliau. - Kematian adalah peristiwa yang dahsyat,sampai-sampai malaikat maut dengan lembut mencabut Roh baginda Rasulullah pun masih terasa sakit.

3 )  KEMUKJIZATAN AL – QUR’AN

A. Pengertian
Kemukjizatan Alquran. Dalam Bahasa Indonesia, frase Kemukjizatan Alquran merupakan terjemahan dari susunan kata-kata I’jazul-Quran dalam Bahasa Arab. Kata I’jaz dalam susunan ini, secara etimologis berasal dari akar kata ‘ajaza yang berarti lemah; kemudian mendapat imbuhan hamzah pada awalnya, menjadi a’jaza yang berarti melemahkan. Dengan demikian, susunan kata-kata I’jaz Alquran merupakan bentuk idhafah mashdar kepada fa’ilnya, yang jika diterjemahkan secara literlek berarti keberadaan Alquran yang dapat melemahkan. Sedangkan obyek yang dilemahkan dalam hal ini adalah manusia. Jadi, secara lughawy, susunan kata ini dapat diartikan sebagai klaim Alquran terhadap kelemahan manusia untuk menandinginya.
Sedangkan menurut pengertian istilah (terminologi) yang dipakai di kalangan para ahli ‘Ulumul Quran, Kemukjizatan Alquran (I’jazul Quran) ialah penetapan kelemahan manusia, baik secara perorangan maupun kelompok, untuk menghasilkan suatu karya yang sama nilainya dengan Alquran (Ash-Shabuni, 1958: 100). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kelemahan manusia bukanlah berarti, bahwa manusia itu tidak memiliki potensi sama sekali untuk menandingi Alquran; melainkan karena kehebatan dan ketinggian Alquran itu baik dari segi keindahan bahasa, maupun dari segi kandungan isinya berada jauh di atas kemampuan manusia biasa. Sehingga manusia tidak sanggup untuk menandinginya. Dengan demikian, sangatlah mustahil untuk mengatakan Alquran sebagai karya manusia. Hal ini berarti, bahwa ia (Alquran) betul-betul datang dari Allah.
Jika statemen yang menyatakan, bahwa Alquran datang dari Allah dapat diterima dengan penuyh kesadaran; maka kenabian Muhammad sebagai pembawa Alquran, secara logika juga mesti diterima. Oleh sebab itu, masalah yang sangat mendasar dalam membahas kemukjizatan Alquran ini ialah bagaimana cara membuktikan keabsahan Alquran sebagai wahyu Allah.

B. Macam-macam Mukjizat Nabi Muhammad
Mukjizat yang diberikan Allah kepada para Rasul-Nya bertujuan untuk membuktikan keabsahannya sebagai rasul bagi umat yang dihadapinya. Karena itu, sifat mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya disesuaikan dengan kondisi umat yang mereka hadapi. Nabi Musa a.s., umpamanya, karena beliau menghadapi umat yang sedang menggandrungi ilmu sihir, maka Allah berikan mukjizat yang dapat menaklukkan semua sihir yang ada. Demikian pula halnya dengan Nabi Isa a.s. yang menghadapi umat yang menggandrungi ilmu kedokteran, maka Allah berikan mukjizat berupa kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit; bahkan dapat menghidupkan orang yang telah mati sekalipun.
Demikian pula halnya dengan Nabi Muhammad. Beliau diangkat menjadi Rasul di tengah-tengah bangsa Arab yang sedang menggandrungi keindahan karya sastra. Karena itu Allah berikan mukjizat berupa Alquran yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi, sehingga tak seorang manusia pun di permukaan bumi ini yang sanggup membuat karangan seindah Alquran. Selain dari itu, keberadaan Nabi Muhammad sebagai rasul yang diutus kepada seluruh umat manusia dan untuk sepanjang zaman, maka sifat mukjizat yang diterimanya pun memungkinkan untuk menjadi bukti bagi masyarakat Arab yang sedang dihadapinya dan umat manusia lainnya yang hidup sampai akhir zaman. Oleh sebab itu, mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad terdiri dari dua macam: (1) Mukjizat yang bersifat fisik, indrawi, dan temporal; dan (2) Mukjizat yang bersifat akli, maknawi dan non-indrawi.
1. Mukjizat Indrawi.
Masyarakat Arab yang berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad, membutuhkan bukti nyata bahwa ia betul-betul utusan Allah. Untuk pembuktian ini, maka Allah berikan mukjizat yang dapat dilihat langsung oleh orang-orang Arab. Mukjizat-mukjizat tersebut antara lain berupa:
a. Terbelahnya bulan
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab-kitab hadits lainnya, diriwayatkan bahwa sebelum Rasulullah Saw. hijrah, berkumpullah tokoh-tokoh kafir Quraiy, seperti Abu Jahal, Walid bin Mughirah dan Al ‘Ash bin Qail. Mereka meminta kepada nabi Muhammad Saw. untuk membelah bulan. Kata mereka, “Seandainya kamu benar-benar seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua.”
Rasulullah (saw) berkata kepada mereka, “Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?”Mereka menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah (saw) berdoa kepada Allah agar bulan terbelah menjadi dua. Rasulullah (saw) memberi isyarat dengan jarinya, maka bulanpun terbelah menjadi dua. Selanjutnya sambil menyebut nama setiap orang kafir yang hadir, Rasulullah (saw) berkata, “Hai Fulan, bersaksilah kamu. Hai Fulan, bersaksilah kamu.” Demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira nampak berada diantara keduanya. Akan tetapi orang-orang kafir yang hadir berkata, “Ini sihir!” padahal semua orang yang hadir menyaksikan pembelahan bulan tersebut dengan seksama. Atas peristiwa ini, maka Allah menurunkan ayat Al Qur’an:
اُقتَرَ بَتِ السَا عَةُ واْ نشَقَ اُلقَمَرُ (1 ) و اِن يَرَ و ءَ ا يَةً يُعرِ ضُوا وَ يَقُو لُو ا سِحرٌ مُستَمِرٌ (2 )
Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka orang-orang musyrikin melihat sesuatu tanda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata : “ ini adalah sihir yang terus menerus.
b. Pohon kurma berbuah seketika
Dari Jabir, ia berkata:
Sewaktu Bapakku meninggal, ia masih mempunyai utang yang banyak. Kemudian, aku mendatangi Rasulullah saw untuk melaporkan kepada Beliau mengenai utang bapakku. Aku berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, bapakku telah meninggalkan banyak hutang. Aku sendiri sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali yang keluar dari pohon kurma. Akan tetapi pohon kurma itu sudah dua tahun tidak berbuah. Hal ini sengaja aku sampaikan kepada Rasulullah agar orang yang memiliki piutang tersebut tidak berbuat buruk kepadaku. Kemudian Rasulullah mengajakku pergi ke kebun kurma. Sesampainya disana beliau mengitari pohon kurmaku yang dilanjutkan dengan berdo’a. Setelah itu beliau duduk seraya berkata kepadaku, “Ambillah buahnya.” Mendengar perintah Rasulullah saw tersebut, aku langsung memanjat pohon kurma untuk memetik buahnya yang tiba-tiba berbuah. Buah kurma itu kupetik sampai cukup jumlahnya untuk menutupi utang bapakku, bahkan sampai lebih. (Sahih Bukhari Juz 4; Hadits no. 780)
c. Air memancar dari sela-sela jari Nabi
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah:
“Dalam pandangan kami mukjizat adalah anugerah Allah, tetapi dalam pandangan kalian mukjizat adalah peringatan. Suatu ketika kami menyertai Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan dan kami nyaris kehabisan air. Nabi saw bersabda: “Bawalah kemari air yang tersisa!” orang-orang membawa kantung yang berisi sedikit air. Nabi saw memasukkan telapak tangannya kedalam kantung itu dan berkata, “Mendekatlah pada air yang diberkahi dan ini berkah dari Allah.” Aku melihat air memancar dari sela-sela jemari tangan Rasulullah saw.” (Sahih Bukhari, juz 5 no. 779).
d. Hujan Lebat dan Banjir
Diriwayatkan oleh Anas:
Pernah lama Madinah tidak turun hujan, sehingga terjadilah kekeringan yang bersangatan. Pada suatu hari Jum’at ketika Rasulullah saw sedang berkotbah Jum’at, lalu berdirilah seorang Badui dan berkata: “Ya Rasulullah, telah rusak harta benda dan lapar segenap keluarga, doakanlah kepada Allah agar diturunkan hujan atas kita. Berkata Anas : Mendengar permintaan badui tersebut, Rasulullah mengangkat kedua tangannya kelangit (berdo’a). Sedang langit ketika itu bersih, tidak ada awan sedikitpun. Tiba-tiba berdatanganlah awan tebal sebesar-besar gunung. Sebelum Rasulullah saw turun dari mimbarnya, hujan turun dengan selebat-lebatnya, sehingga Rasulullah saw sendiri kehujanan, air mengalir melalui jenggot Beliau. Hujan tidak berhenti sampai Jum’at yang berikutnya, sehingga kota Madinah mengalami banjir besar, rumah-rumah sama terbenam. Maka datang Orang Badui berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, sudah tenggelam rumah-rumah, karam segala harta benda. Berdo’alah kepada Allah agar hujan diberhentikan diatas kota Madinah ini, agar hujan dialihkan ketempat yang lain yang masih kering. Rasulullah saw kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit berdo’a: Allahuma Hawaaliinaa Wa laa Alainaa (Artinya: Ya Allah turunkanlah hujan ditempat-tempat yang ada disekitar kami, jangan atas kami). Berkata Anas: Diwaktu berdo’a itu Rasulullah saw menunjuk dengan telunjuk beliau kepada awan-awan yang dilangit itu, seakan-akan Beliau mengisyaratkan daerah-daerah mana yang harus didatangi. Baru saja Rasulullah menunjuk begitu berhentilah hujan diatas kota Madinah.
(Sahih Bukhari, juz 8 no 115).

e. Rasulullah menyembuhkan Ali dari sakit mata
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab shahihnya, bahwa Rasulullah saw bersabda pada saat peristiwa penaklukkan Khaibar :
“Esok hari aku (Nabi saw) akan memberikan bendera kepada seorang yang akan diberikan kemenangan oleh Allah swt melalui tangannya, sedang ia mencintai Allah dan Rasulnya, dan Allah dan Rasulnya mencintainya”.
Maka semua orangpun menghabiskan malam mereka seraya bertanya-tanya didalam hati, kepada siapa diantara mereka akan diberi bendera itu. Hingga memasuki pagi harinya masing-masing mereka masih mengharapkannya. Kemudian Rasulullah saw bertanya: “Kemana Ali?” lalu ada yang mengatakan kepada beliau bahwa Ali sedang sakit kedua matanya. Lantas Rasulullah saw meniup kedua mata Ali seraya berdoa untuk kesembuhannya. Sehingga sembuhlah kedua mata Ali seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Lalu Rasulullah saw memberikan bendera itu kepadanya. (Sahih Bukhari).
f. Mimbar menangis
Diriwayatkan oleh Ibn Umar:
Rasulullah saw naik keatas mimbar dan berkotbah. Sedang Rasulullah saw berkotbah, Rasulullah saw mendengar mimbar itu menangis seperti tangisan anak kecil, sehingga seakan-akan mimbar itu mau pecah. Lalu Rasulullah saw turun dari mimbar dan merangkul mimbar itu sehingga tangisnya berkurang sampai mimbar itu diam sama sekali. Rasulullah saw berkata: “Mimbar itu menangis mendengar ayat-ayat Allah dibacakan diatasnya.” (Sahih Bukhari juz 4 no. 783).

2. Mukjizat Aqliyah
Satu-satunya Mukjizat Nabi Muhammad yang bersifat Aqliyah adalah Alquran. Sebagai bukti kenabian Muhammad, kemukjizatan Alquran dapat dilihat dari beberapa aspek, sebagaimana penjelasan berikut ini.
C. Aspek – aspek Kemukjizatan Al – Quran
Dalam sejarah kemunculan dan berkembangnya pembiranaan tentang Kemukjizatan Alquran , terlihat bahwa para ahli berbeda pendapat dalam melihat aspek-aspek kemukjizatan Alquran yang dipandang penting. Namun dari berbagai perbedaan itu , secara global tidak terlepas dari tiga aspek yang meliputi: (1) as-Sharfah, (2) Keindahan bahasa, (3) Ketelitian Redaksi, dan (4) Kandungan isinya. Untuk lebih jelasnya, ketiga aspek ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Aspek_Ash-Sharfah
Dari kalangan mutakallimin, Abu Ishak Ibrahim An-Nazzam, berpendapat, bahwa kemukjizatan Alquran terjadi dengan cara Ash-Sharfah (pemalingan). Arti Ash-Sharfah menurut An-Nazzam ialah, bahwa Allah memalingkan perhatian orang-orang Arab dari menandingi Al;-Quran. Padahal, mereka sebenarnya mampu untuk menandinginya. Di sinilah letak kemukjizatan Al-Qurean menurut An-Nazzam.
2. Tokoh lain dari pendukung konsep Ash-Sharfah ialah Al-Murtadha (dari aliran Syi’ah). Hanya saja Al-Murtadha mengartikan Ash-Sharfah berbeda dengan pengertian yang dibuat An-Nazzam. Menurut Al-Murtadha, Ash-Sharfah berati pencabutan. Dalam hal ini, Allah mencabut ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menandingi Alquran dari orang-orang Arab pada masa itu. Sehingga mereka tidak mampu membuat karya yang menandingi Alquran (Manna’ Khalil Al-Qaththan, 1992: 372 – 373).

3. Keindahan Bahasa (Fashahah dan Balaghah)
Aspek kedua dari kemukjizatan Alquran yang menjadi pokok bahasan para ulama Kalam ialah dari segi keindahan bahasanya. Dalam hal ini, Bahasa Arab yang digunakan Alquran dipandang sebagai bahasa yang istimewa, baik dari segi gaya bahasanya, susunan kata-katanya, maupun ketelitian redaksi yang digunakannya. Walaupun di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai segi-segi keindahan bahasa Alquran, namun pada umumnya mereka sepakat, mengakui keindahan bahasa Alquran. Keindahannya, jauh melebihi keindahan bahasa yang disusun oleh para sastrawan Arab. Bahkan, kekaguman terhadap keindahan bahasa Alquran ini bukan saja berasal dari kalangan orang-orang yang beriman saja, melainkan orang-orang kafir Qureisy pun pada saat turunnya Alquran mengakui hal ini. Hanya saja mereka tidak mau mengakuinya sebagai wahyu dari Allah. Mengenai keluar-biasaan keindahan bahasa Alquran mereka sangat terkesima, sehingga menuduh, bahwa hal itu dibuat oleh Muhammad dengan menggunakan sihir yang dipelajarinya dari orang-orang Yahudi. Sebagaimana terlihat dari firman Allah, ketika mensitir perkataan orang yang membangkang dari kebenaran, “Lalu dia berkata: (Alquran) ini tak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang Yahudi)” (Al-Muddatstsir/74: 24).
4. Ketelitian’Redaksinya

Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :
1) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :
Al-Hayah (hidup0 dan Al-Maut (mati), masing-masing serbanyak 145 kali
An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali
As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167,kali
Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali
2) Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali
b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali
c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali
5) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya
a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali
b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali
c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali

6) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali
b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali
c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali
7) Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus
a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518.

4. Kandungan’Isinya
Pembahasan menmgenai aspek kemukjizatan Alquran dari segi kandungan isinya, sungguh akan menyita banyak halaman (tempat) dalam makalah ini. Untuk itulah, maka pembahasan dari aspek ini akan dipaparkan secara global.
Isi dan kandungan Alquran banyak memberikan informasi mengenai hal-hal yang tak mungkin dikuasai (diketahui) oleh ilmuwan manapun yang hidup pada abad VI M (empat belas abad yang lalu). Bahkan, hingga saat sekarang pun banyak di antara informasi-informasi itu yang hanya bisa diperoleh dari Alquran. Informasi-informasi (berita-berita) seperti inilah yang merupakan salah satu aspek kemukjizatan Alquran.
Di antara isi dan kandungan Alquran yang menunjukkan kemukjizatannya, secara garis besar dapat diklassifikasikan kepada tiga jenis sebagai berikut:

a. Berita tentang Hal-hal yang Ghaib
Beritan-berita ghaib yang terdapat dalam Alquran dapat dikelompokkan kepada:
1) Berita-berita ghaib yang terjadi sebelumnya; yaitu berita-berita tentang orang-orang terdahulu. Seperti berita tentang Nabi Musa a.s. (Alquran, 28: 44 -46); berita tentang Maryam, ketika melahirkan Isa a.s. (Q. S. 19: 15- 34 dan 4: 44); pertualangan Nabi Ibrahimdalammencarti Tuhan (Q. S. 6: 74 – 81). Kesemua berita ini disampaikan kepada Nabi Muhammad untuk memperteguh hatinya dan sebagai peringatan bagi orang-orang Mukmin (Q. S. 11:120). Sebelum mendapat wahyu ini, Nabi Muhammad sendiri tidak tahu tentang berita-berita tersebut (Q.S. 11: 49).
2) Berita-berita ghaib yang sedang terjadi di tempat lain. Seperti mengenai maksud jahat orang-orang munafik dengan membangun masjid Dhirar (Q. S. 9: 107); aatau berita ghaib yang terjadi di tempat yang sama. Seperti sikap orang-oraorang munafik yang bermanis muka di hadapan Nabi, padahal hatinya buruk dan sangat memusuhi Nabi (Q. S. 2: 204 – 206).
3) Berita-berita ghaib yang akan terjadi (sesudah turunnya wahyu). Seperti kemenangan yang akan diperoleh tentara Romawi dalam menghadapin bangsa Persia (Q. S. 30: 1 – 6); Nabi dan para sahabatnya akan memasuki kota Mekkah dalam keadaan aman (Q. S. 48: 27); Allah akan mengabadikan jenazah Fir’aun sebagai bukti historis (Q. S. 10: 92); Kemurnian Alquran tetap akan terpelihara (Q.S. 15: 9); dan berbagai masalah ghaib lainnya yang ditunjukkan oleh Alquran, baik secara eksplisit maupun implisit.

b.Isyarat-isyarat.Ilmiah
Isi dan kandungan Alquran banyak menginformasi-kan masalah-masalah ilmiah yang hanya mungkin diketa-hui oleh ilmuwan abad modern ini. Sungguhpun dalam hal ini Alquran tidak mengupas secara tuntas masalah-masalah keilmuan modern — karena hal ini bukan tujuan utama diturunkannya Alquran — namun, paling tidak Alquran telah memberikan isyarat-isyarat yang mungkin dapat dikem-bangkan oleh manusia. Isyarat-isyarat ilmiah semacam ini merupakan suatu hal yang sangat mustahil dapat diketahui oleh manusia abad VI M. Ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah semacam ini, semakin lama semakin banyak ditemukan dalam Alquran, sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Di antara ayat-ayat tersebut yang sudah dibuktikan kebenarannya melalui penemuan di bidang ilmu pengetahuan Alam antara lain:
1) Hukum Toricelly yang ditemukan pada abad XVII M, menyatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah tekanan udara yang ada di tempat itu. Hukum ini diisyaratkan Alquran dalam Surat Al-An’am/6: 125
yang mengisyaratkan bahwa seseorang yang naik ke langit (ke tempat yang lebih tinggi), maka akan mengalami sesak napas, karena dadanya terasa sempit. Hal ini (rasa sempit di dada), menurut Hukum Torecelly akan terjadi ketika seseorang berada pada ketinggian 12000 feet dari permukaan laut [Muhammad Ismail Ibrahim, t.t.: 89].
2) Atom bukanlah partikel terkecil yang tak dapat dibagi-bagi lagi (Q.S. 10: 61), melainkan masih dapat dipecah lagi menjadi unsur-unsur: Proton, Netron dan Elektron [MuhammadAliAsh-Shabuni,op.cit.:131].
… tidak ada yang luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).
3) Mata hari adalah planet yang mengeluarkan energi dan cahaya. Hal ini diisyaratkan pada(Q.S. 10 : 5 ); Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada,orang-orang,yang,mengetahui.
4) Siang dan malam tidak selalu sama lama (tempo)nya. Kadangkala malam lebih panjang daripada siang, dan kadangkala juga terjadi sebaliknya. Hal ini mengundang tanda tanya untuk dipikirkan jawabannya, seperti tersirat pada Surat Yunus/10: 6.
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.
Selain dari ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi penemuan-penemuan ilmiah modern yang keberadaannya diisyaratkan oleh Alquran sejak empat belas abad yang lalu. Dalam kaitan ini, peran serta ilmuwan muslim dituntut untuk lebih banyak terlibat dalam penemuan-penemuan ilmiah secara obyektif, sehingga akan lebih banyak lagi menyingkap rahasia-ahasia kemukjizatan Alquran dari aspek ini.

c)Kesempurnaan-Syari’atnya
Kandungan Alquran yang menjadi tujuan utama diturunkannya, yakni berupa syari’at Islam menunjukkan bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan manapun yang pernah ada di dunia ini. Hal ini terbukti dengan semakin luasnya tersebar ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia dan diterima oleh semua lapisan masyarakat, dari kurun-kr kurun hingga abad modern sekarang ini. Indikasi semacam ini, menurut William Montgomery Watt, seorang orientalis dari Skotlandia, merupakan suatu pertanda keabsahan Muhammad sebagai Nabi yang membawa ajaran ini [William Montgomery Watt, 1984:246].
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Alquran ialah tekunnya para ulama, khususnya para fuqaha dan juga mutakallimin, mempelajari kandungan Alquran yang tak henti-hentinya sejak empat belas abad yang lalu; sehingga melahirkan warisan pemikiran yang patut dibanggakan hingga saat ini [Muhammad Ismail Ibrahim, 1978: 21]. Selain itu, syari’at Islam juga diakui sebagai syari’at yang sesuai dengan kebutuhan manusia, karena ia berasal dari pencipta manusia itu sendiri, yang tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari alam gelap gulita enuju dunia pencerahan yang terang-benderang (Q. S. Al-Baqarah/2: 257). Dalam hal ini banyak indikasi yang menunjukkan, bahwa orang-orang non-muslim pun pada akhirnya berupaya untuk kembali mengadopsi ajaran syari’at Alquran, yang semula mereka acuhkan — baik disadari atau tidak. Seperti contoh-contoh yang dipaparkan oleh Az-Zarqani [Az-Zarqani, op. cit.: 352 - 353].
Dari ketiga klassifikasi kemukjizatan Alquran berdasarkan kandungan isinya, sebagaimana tersebut di atas, yang banyak mendapat perhatian kalangan mutakallimin sebagai obyek kajiannya, hanyalah klassifikasi yang pertama, yaitu berita-berita ghaib yang dikandung Alquran (Al-Akhbar ‘An Al-Ghuyub).
   
4 )   BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ilmu al qur’an diciptakan untuk mengantisipasi peringatan Rasululloh saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas : عن إبن عباس رضي الله عنه قال : قال رسول الله ص م : من قال في القرأن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار (رواه الترمذي وقال حسن صحيح) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata : Rasululloh bersabda “barang siapa berkata tentang al-qur’an tanpa Ilmu, maka hendakla ia mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka” (HR. Tirmidzi, kata al-tirmidzi hadis ini hasan sahih). Peringatan keras seperti yang tergambar di dalam hadits Rasul itu amat penting agar dalam menafsirkan al-qur’an para ulama lebih berhati-hati sehingga tidak terjadi penyimpangan sedikitpun. Terjadinya berbagai penafsiran yang menyimpang sejak dulu sampai sekarang berawal dari diabaikannya kaidah-kaidah tafsir (ilmu al qur’an). Pada masa nabi saw, para sahabat menanyakan langsung kepada nabi saw ihwal yang dibutuhkan untuk pemahaman maksud dan tujuan al-qur’an, atau nabi saw menjelaskan ayat-ayat yang dianggap perlu untuk dijelaskan. Dalam hal ini, nabi saw berfungsi sebagai penyampai dan pemberi penjelasan. Tidak ada penjelasan yang pasti apakah nabi saw menjelaskan keseluruha ayat-ayat al-qur’an, atau sebagiannya saja, namun demikian, fakta yang dapat ditemukan menunjukkan bahwa tidak semua penafsiran nabi saw tentang ayat-ayat al-qur’an dapat diketahui secara keseluruhan, mungkin karena penulisan hadits yang jauh setelah nabi saw wafat atau karena nabi saw tidak menjelaskan seluruh ayat al-qur’an. Permasalahan berikutnya, mampukah manusia memberikan penafsiran atau memberikan penjelasan kalam tuhan? Sejauh mana penafsiran manusia dianggap sesuai dengan sebenarnya diharapkan Alloh sehingga dapat dijadikan dasar? Untuk menjelaskan pertanyaan yang pertama, pelu ditegskan disini bahwa al-qur’an yang secara teologis diyakini sebagai bahasa tuhan, pada kenyataannya ia menggunakan bahasa arab, walaupun al-qur’an mengunakan bahasa arab tidak jarang kata yang dipergunakan al quran berbeda dengan makna yang difahami bangsa arab ketika itu. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat di ambil beberapa rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana sejarah perkembangan tafsir? 2. Bagaimana definisi tentang tafsir dan ta’wil? 3. Bagaimana perbedaan tafsir dan ta’wil? 4. Apa contoh-contoh dari tafsir dan ta’wil? 1.3 Tujuan Dari rumusan masalah diatas dapat di ambil beberapa tujuan yaitu: 1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafir. 2. Untuk mengetahui tentang dfinisi tafsir dan ta’wil. 3. Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta’wil. 4. Untuk mengetahiui contoh-contoh tafsir dan ta’wil. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah perkembangan tafsir Tidak diragukan lagi bahwa tafsir memiliki sejarah yang panjang, Muhammad Husain al-Dzahabi telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode: pertama, tafsir pada masa nabi dan sahabat, kedua, tafsir masa tabi’in, dan yang ketiga, tafsir pada masa pembukuan. a. Masa nabi dan sahabat Rasulullah adalah orang pertama yang menguraikan maksud-maksud alquran dan menjelaskan kepada umatnya wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari sahabat Rasul yang berani menafsirkan alqur’an, karena Rosul masih ada di tengah-tengah mereka. Rosul memahami Al qur’an secara global dan terperinci karena Alqur’an diturunkan kepada seorang nabi yang ummy dan kaum yang ummy pula. Dan adalah kewajiban Rosululloh menjelaskan kepada sahabatnya dan atas dasar wewenang yang diberikan oleh Alloh untuk menafsirkan Alqur’an. Rosul sendirilah yang memikul beban berat tetapi mulya itu, dan menunaikan kewajiban tersebut sebagaimana mestinya. Setelah nabi SAW wafat para sahabat juga memahami Al qur’an karena Al qur’an diturunkan dengan bahasa mereka, hal ini karena disinyalir dalam beberapa firman Alloh swt dalam surat yusuf ayat 2,
!$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇËÈ Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” Namun mereka berbeda tingkat pemahamannya, sehingga apa-apa yang tidak diketeahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh orang lain. Ibnu kutaibah juga berkata, orang arab (sahabat itu) tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata sharih dan mutasyabbih dalam alqur’an. Tetapi dalam hal ini, sebagian dari mereka memiliki kelebihan atas yang lain. Ahli tafsir dari kalangan sahabat nabi jumlahnya banyak akan tetapi yang terkenal luas hanya 10 orang, yaitu empat khulafaurrasyidin, Abdullah ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin tsabit, Abu Musa Al’asyari, dan Abduloh ibnu zubair. b. Masa Tabi’in Masa tabi’in dimulai sejak berakhirnya tafsir pada masa sahabat, hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh mufasir pada masa sahabat yang meninggal dunia, yangmereka itu adalah para guru dari tabi’in dan juga banyaknya para tabi’in yang mengikuti jejak guru-gurunya dalam bidang penafsiran al qur’an, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat alqur’an yang masih tersembunyi pengertiannya. Karena banaknya para tabi’in yang menafsirkan ayat-ayat al qur’an maka hasil karyanya ini dikenal dengan tafsir tabi’in. Tafsir yang pertama kali lahir pada masa itu adalah Tafsir Ibnu Abbas diriwayatkan, bahwa Abdullah Ibnu Abbas menyimpan catatan-catatan yang di dalamnya dibukukan sebagian dari apa yang ia dengar dari Rasulullah SAW. c. Periode Pembukuan (tadwin) Periode ini dimulai pada akhir kekhalifahan dinasti bani umayyah dan awal kekhalifahan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam hal ini hadits mendapat prioritas utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab, sedang tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda. Tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan secara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surah demi surah dari awal Al-qur’an sampai akhir, pada waktu itu para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadits, sehangga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadits. Tahap kedua, muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara tafsir A-Qan dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadits serta menjadikannya sebagai suatu ilmu tersendiri. Al-qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesuai dengan tertib mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari abad ke-3 hijriyah dan berakhir pada awal abad 5 hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibnu Majah, ibn jarir ath-Thabari, Ibnu abi yatim, dan lain-lain yang masih menggunakan tafsir bil al-ma’tsur. Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai corak bil ma’tsur saja, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Maka muncul sejumlah mufassir yang hanya meringkas sanad-sanad dan menghimpun pendapat tanpa menyebut pemiliknya’ oleh karena itu terjadilah pemalsuan dalam tafsir dan disisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyat sebagai dasar penafsiran tanpa diseleksi terlebih dahulu. Tahap keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan ilmu tafsir sudah mulai mencapai kesempurnaan yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan serta banyaknya madzhab yag bermunculan. 2.2 Definisi tafsir dan ta’wil a) Pengertian Tafsir Kata tafsir menurut bahasa diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang mengandung arti keterangan atau uraian. Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakkan) dan al-ibanah (menjelaskan). Adapun pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama’ berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut: • Menurut al-kilabi dan at-tashil “tafsir adalah uraian yang menjelaskan isi al-qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat atau tujuannya”. • Menurut syekh al-jazairi dalam shahib at-taujih: ” tafsir pada hakikatnya menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau maknanya yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafazh tersebut”. • Menurut abu hayyan dalam al-bahr al-muhith “ tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh al qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya (dalalah-nya), hukum-hukum, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”. Banyak ulama yang mengemukakan perngertian tafsir yang pada intinya bermakna menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam ayat al-qur’an sehingga dengan mudah dan dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan. a) Pengertian ta’wil Pengertian ta’wil secara etimologi berasal dari kata aul yang berarti al-ruju’ ila al-ashl yaitu kembali kepada asal. Sementara ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pengertian ta’wil murodif dengan pengertian tafsir dalam kebanyakan maknanya yaitu menerangan (al-bayan), menyingkap (al-kasyf) dan juga berarti menjelaskan sesuatu (al-idhah). Secara terminologi pengaertian ta’wil dibagi menjadi dua yaitu menurut ulama salaf dan menurut ulama mutaakhirin, pengertian ta’wil menurut ulama salaf dibai menjadi dua, 1). ta’wil dan arti tafsir al-kalam wa bayanu ma’nahu, yaitu menafsirkan suatu kalam dan menjelaskan ma’nanya, baik yang sesuai dengan dzohirnya atau tidak . 2). Ta’wil dalam arti nafs bi al-kalam, yaitu esensi yang dimaksud dari satu perkataan atau kalam, artinya kalam itu merujuk pada ma’na hakikinya yang merupakan esensi yang dimaksud. Sedangkan pengertian ta’wil menurut ulama mutakirin sebagamana yang disetujui oleh ulama fiqih, mutakallim, ahli hadits dan uga ahli tasawuf, adalah: التأويل عند هؤلإجميعا : هو صرف اللفظ عن المعنى الراجح إلى المعنى المرجوح لدليل يقترن به Artinya : memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada indicator-indikator (dalil) yang menyertainya. Para mufassir berbeda pendapat tentang pengertian ta’wil ada dua golongan ulama’ : 1. Ulama’ salaf, bahwa tafsir dan ta’wil itu sama artinya oleh karena itu semua ayat al-qur’an mempunyai ta’wil terhadap firman Alloh, “ dan tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Alloh” QS Ali imran (3:7), mereka berpendapat bahwa itu khusus berkenaan ayat-ayat mutasyabbih yang hanya Alloh saja yang mengetahuinya. 2. Ulama’ kholaf, Perbedaan Tafsir Dan Ta’wil Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut. Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang makna tafsir dan ta’wil, kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut: 1. Apabila kita berpendapat ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.termasuk pengertian ini ialah do’a rasulullah untuk ibn abbas: “Ya Allah,berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil. 2. Apabila kita berpendapat ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan,maka ta’wil dari talab (tuntunan)adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiridan ta’wil dari khobar adalah esensi sesuatu yang diberitahukan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dan ta’wil cukup besar Sedangkan menurut para ulama perbedaan antara tafsir dan ta’wil berkisar pada: • Keumuman dan kekhususan saja, maksudnya tafsir berkaitan dengan ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum (muhkam), sedangkan ta’wil berkaitan dengan ayat-ayat yang khusus (mutasyabihat). • Menurut al-maturidi Bahwa tafsir merupakan penjelasan lebih lanjut dari takwil. Oleh karena itu, dalam tafsir diperbolehkan adanya semacam klaim dan bersaksi dengan nama Allah bahwa itulah yang dimaksudkan dengan ayat itu ” demikianlah yang dikehendaki Allah swt dengan ayat ini” jika terdapat dalil yang maqtu’ (kokoh) maka itulah tafsir yang benar, jika tidak maka termasuk tafsir bi al-ra’yi.sedangkan dalam ta’wil hanya menguatkan salah satu makna dari beberapa kemungkinan makna yang dikandung lafazh itu tanpa di barengi suatu klaim. • Menurut abu thalib al-tsa’laby menegaskan bahwa tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu kata, dan penjelasan itu bisa bersifat hakiki atau majazi. Sedangkan ta’wil adalah penjelasan mengenai apa yang tersirat dalam suatu kata

Latar Belakang Masalah

Memperhatikan semakin majunya media di dunia ini pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Baik itu media masa, surat kabar maupun elektronik. Yang mana dampak positifnya adalah semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Taksir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari argument diatas kami tertarik membahas “ bentuk tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.

PEMBAHASAN

    A.    Tafsir

Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam ayat 33 dari Al-Furqan yang artinya “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar  dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “kasyf al-mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup). Dan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz.[1] Sebagian ulamapun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.

Didalam kamus bahasa Indonesia, kata tafsir diartikan dengan “keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran”.[2] Termasuk didalamnya terjemah al-Quran. Jadi Tafsir Al-Quan ialah penjelasan atau keterangan untuk memperjelas maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. Dengan demikian menefsirkan al-Quran adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. Dalam perkembangannya, tafsir terus dikembangkan dengan berbagai metode untuk mencoba menemukan maksud yang pas dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Dalam perkembangan awal, penafsiran tebagi menjadi dua macam. Yaitu penafsiran Bil Ma’tsur dan Bil Ro’yu.

    B.     Tafsir bil Ma’tsur

Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al – qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in[3]. Metode ini meng-haruskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.

    C.    Sejarah serta perkembangan tafsir bil ma’tsur

Tafsir bil ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zaman ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat,serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku – buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in.[4]

Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat al-qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat – pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatn yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi – studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati –hati. Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Quran pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Quran yang mutlaq dengan ayat Al-Quran yang muqayyad.[5]

Namun perlu kita tekankan juga bahwa dalam perkembangan tafsir bil ma’tsur sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur ro’yi. Walaupun pada masa ini blum begtu dikenal adanay tafsir bil ro’yi tetapi mereka dalam melakukan penafsiran bil ma’tsur tidak bisa lepas dari unsur ro’yi secara tidak langsung. Begitupun dalam penafsran bil ra’yi mereka tidak serta lepas dari tafsir bil ma’tsur.

    Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an

Contoh, seperti firman Allah :
وَالسَّمَآءِ وَالطَّارِقِ
Artinya : “Demi langit dan yang datang dimalam hari”.QS. Ath-Thariq : 1
النَّجۡمُ الثَّاقِبُۙ ).الطّارق: ۳ ‏(
Artinya : “Ialah bintang yang bercahaya”. QS. Ath-Thariq : 3
Kemudian firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷﴾
Artinya : “Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ )الاٴعرَاف: ٢٣(

Artinya : “Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.

Lagi firman Allah ‘Azza wa jalla :

إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ) الدّخان:٣(

Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.

Ditafsiri dengan firman Allah :

إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١(

Artinya : “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.

Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi. Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT. Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya. Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.
    Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits

Allah ‘Azza wa jalla berfirman :

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … الاٴنفَال: ٦٠(

Artinya : “Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.

Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah (قُوَّةٍ۬ ) dengan Ar-Ramnya ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi : “ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
     Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in

Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabt itu termasuk ma’tsur.[6]

Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.

Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :[7]

    Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
    Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
    Tafsir Baqy Makhlad
    Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
    Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
    Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
    Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
    Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
    Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an
    (Abdurrahman Atsa’libi)
Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengalami perbedaan pendapat antar Para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek redaksional sehingga maknanya sama hanya kata – kata yang berbeda. Perbedaan ini dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :

- Pertama , seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim sebagian menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun keduanya bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir AS,2011:484)

    Kedua, masing mufasir menafsirkan kata – kata yang bersifat umum dan menyebutkan makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman Allah yang berbunyi : “ kemudian kitab itu kami wariskan kepada ornang – orang yang kami pilih diantara hamba – hamba kami namun diantara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim)terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat(muqtasid) dan ada pula yangterdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan (fathir 35:32) (Drs.Mudzakir AS,2011:485)[8]

Dalam pengartian zalim,muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan masalah besar selama tidak menyim-pang dari konteks yang asal.
     D.  Tafsir bil ra’yi

Tafsir bil ra’yi ialah pejelasan-penjelasan yang bersendi kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadatorang arab dalam mempergunakan bahasanya.[9]

Tafsir bil rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam.masing – masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari) , pembahasan aspek hukum syariah (imam al-Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing- masing. Tafsir bir – Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut:[10]

v  Menjauhi sikap terlalu berani menduga – duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir

v  Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya.

v  Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu

v  Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab

v  Menghindari penafsiran pasti (qath’i)

 Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung.karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasusu dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, all–wadu wa al–wa’id, al–manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar.

Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang. Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta kaedah yang dianggap mu’tabarat. Nmun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al- qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir–ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “ mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal–hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang [lanjutnya], ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”

Jadi diamnya ulam salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati – hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir –ra’yi, maka kiitab – kitab tafsir bir- ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).

Comtoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan)[11]

    Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)
    Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)
    Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)
    Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)
    Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)
    Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)
    Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)
Contoh kitab yang Mazhmum

    Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah
    Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah
    Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah
    Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij
    Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.
    Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij
    Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al-zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah
    E.     Hukum tafsir bil ma’tsur dan Bir- Ra’yi

Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.

Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.[12]

Tafsir Bil Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini seperti  seperti yang di kutip oleh Drs. Mudzakir As “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36).



“katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf [7]:33).
Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan karna biasanya termasuki oleh ide – ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan pada bukti – bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan atau madzhab apapun.
Contoh Tafsir Bi ra`yi

Pada QS. Al-Ahzab ayat ke 59

يَاَّيُهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزۡوَٲجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡہِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّۚ ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ  وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا ) الاٴحزَاب : ٥٩ (

Artinya : “Hai, Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, putri-pitrimu, dan istri-istri orang-orang yang beriman. “Hendaklah mereka mengulurakan jilbabnya kedeluruh tubuh mereka”. Dengan pakaian serupa itu, mereka lebih mudah dikenal maka mereka tidak diganggu lagi, dan Allah senantiasa Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.[13]
D. Tokoh – tokoh tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi [14]

Tafsir bil Ma’tsur memiliki beberapa tokoh – tokoh seperti

ü  Ibnu jarir Ath thabary

ü  Abul Laits as Samarqandy

ü  Al Wahidy

ü  Al Hafidh Ibnu katsir

ü  Abdul haqq bin Ghalib

ü  Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud

ü  Jalaludin Asuyuthi

ü  Abdurrahman Atsa’libi

Tokoh – tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua yakni yang tidak memihak pada golongan, yang tafsirnya mahmud yakni:

ü  Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan

ü  Muhammad bin Abi Bakr

ü  Jalaludin Muhammad bin ahmad

ü  Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr

ü  Nidhamuddin ibnu hasan

ü  Shihabudin As- Sayid

Tokoh – tokoh yang tafsirnya Mazhmuz yakni :

ü  Maula Abdul Latif al- Kazarani (dari golongan Syi’ah)

ü  Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)

ü  Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)

ü  Abu Hasan Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)

ü  Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)

ü  Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawarij)

Contoh penafsiran dengan Tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi

    Tafsir bil ma’tsur

QS. Al-Ahzab : 59

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾

Artinya : “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Kemudian di jelaskan dalam QS an-Nur : 31, pada ayat ini jilbab dijelaskan tidak harus memakai jilbab yang menutupi seluruh tubuh.

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنّ ….

Artinya: “Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..” An-Nur[24]:31

Kemudian dalam hadis Nabi juga di terangkan tentang batasan jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua telapak kaki wanita

Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw :

“Siapa saja yang menyeret bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana dengan ujung-ujung pakaian kami?” Beliau menjawab, “Turunkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Kalau begitu, telapak kakinya tersingkap.” Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, “Turunkanlah satu hasta dan jangan lebih dari itu.” (HR at-Tirmidzi).
    Tafsir bil ra’yi
Perintah berjilbab dalam ayat itu tampak kepada kita tidak secara tegas dan mutlak, melainkan tergantung kondisi kaum wanita itu. Diminta untuk memakai jilbab, manakala mereka diganggu oleh orang-orang usil dan nakal. Dengan demikian dimanapun di dunia ini baik dulu maupun sekarang, bila dijumpai kasus yang sama kreterianya dengan peristiwa yang melatarbelakangi turunya ayat ini, maka hukumnya adalah sama sesuai dengan kaidah ushul fiqih, yaitu hokum-hukum syara’ didasarkan pada ‘ilat penyebabnya ada atau tidak ‘ilat tersebut. Jika ‘ilat ada, maka ada pula hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada ‘ilat, maka taka da hukumnyaberdasarkan kaidah itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban memakai jilbab pada ayat itu bersifat kondisional.
KESIMPULAN

Dari berbagal ulasan, komentar, analisis baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat diberi kesimpulan bahwa tafsir bil ma’tsur pada hakekatnya merupakan tafsir Alquran dengan Alquran sendiri, atau dengan Sunah Nabi, atau dengan perkataan sahabat, atau dengan tabi’in. Contoh-contoh penerapannya banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir terutama yang memaki metode tafsir bil ma’tsur. Nilai dan keandalan tafsir ini haruslah diterima oleh si mufassir terutama tafsir Alquran dengan Alquran dan tafsir Alquran dengan Sunah. Ma’tsur dari Nabi, atau sahabat, atau tabi’in haruslah diteliti dan dicermati secara ketat agar si mufassir terhindar dari riwayat-riwayat yang kurang kuat atau israiliyat dalam menafsirkan Alquran.

Sekalipun tafsir bil matsur pada hakekatnya adalah tafsir dengan naq muatan nalar tetap ada dan tidak bisa dihindari. Karena dalam proses kerja dengan menggunakan tafsir ini tetap saja tidak terlepas dari kualitas si mufassir, faktor-faktor kelemahan yang ada dalam tafsir bit ma’tsur, perkembangan zaman, perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan budaya dan lain-lain. Itu semua memberi peluang besar pengaruh nalar dalam tafsir bil ma’tsur, atau paling tidak muatan nalar memberi wawasan yang lebih luas dan variasi nuansa sekalipun tidak menggerogoti substansi tafsir bil ma’tsur itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hashbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.Jakarta:Bulan Bintang, 1980

Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Al-‘Aridi,‘Ali Hasan Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994

http://imaza17.blogspot.com/2012/02/makalah-tafsir-bil-masur-dan-bir-royi.html

http://amarsuteja.blogspot.com/2012/09/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bir-rayi.html
[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 33
[2] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran ,,, hlm. 40
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 227
[4] Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm 226-236.
[5] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hlm. 42
[6] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… hlm. 44
[7] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, ibid… Hlm. 252-253
[8] http://amarsuteja.blogspot.com/2012/09/tafsir-bil-matsur-dan-tafsir-bir-rayi.html
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir. hlm 227
[10] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… hlm. 50

[11] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir, ibid… hlm.253
[12] ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… hlm. 49
[13] http://imaza17.blogspot.com/2012/02/makalah-tafsir-bil-masur-dan-bir-royi.html
[14] Lihat ‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ibid… Hlm. 227-233 
                          A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kallamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia agar bisa selamat di dunia dan di akhirat. Maka dari itu, kita sebagai umat manusia harus bisa memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an agar dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa memahami isi kandungannya lahirlah ilmu tafsir.
Ilmu tafsir menurut beberapa ulama dibagi menjadi empat macam yaitu, tafsir Tahlili, tafsir Ijmali, tafsir Muqaran, dan tafsir Mawdlu’i. Namun, yang akan kita bahas kali ini yaitu tentang tafsir Tahlili.
Tafsir Tahlili adalah ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail dari mulai ayat demi ayat, surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain itu juga tafsir ini mengkaji Al-Qur’an dari semua segi dan maknanya. Tafsir ini juga lebih sering digunakan daripada tafsir-tafsir yang lainnya.
Beberapa ulama membagi tafsir Tahlili menjadi beberapa macam yaitu, tafsir ma’tsur, tafsir ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan tafsir Adab Al-Ijtima’i. Dan untuk lebih jelasnya tentang tafsir Tahlili akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah                                                      
1.      Apa yang dimaksud dengan tafsir Tahlili?
2.      Bagaimana  ciri-ciri dari tafsir Tahlili?
3.      Apa Contoh tafsir Tahlili?
4.      Apa keistimewaan dan kelemahan tafsir Tahlili?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Tahlil  
i
Tafsir Tahlili merupakan metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[1]
            Selain itu, ada juga yang menyebutkan  tafsir tahlili adalah tafsir yng mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Seorang pengkaji dengan metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushhaf Utsmany. Untuk itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur  i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, dan isti’arah. Di samping itu juga mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya . Dengan demikian sebab nuzul ayat atau sebab-sebab turun ayat, Hadits-hadits Rosulloh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in sangat dibutuhkan.
                Maka, tafsir tahlili merupakan ilmu tafsr yang menafsirka ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dari ayat per ayat sesuai urutan pada mushaf utsmani, menjelaskan setiap ayatnya secara detail yang meliputi beberapa hal antara lain, isi kandungan ayatnya, asbab al nuzulnya, dan lain-lain.
            Metode tafsir Tahlili ini sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan (musawah), seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dll. Semua ulama di atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda. [2]
Para ulama telah membagi wujud metode tafsir Tahlili menjadi tujuh macam, yaitu tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, tafsir Adab al-ijtimi’i.
1.      Tafsir Tahlili bentuk Ma’tsuri / tafir bi al-Ma’tsuri (riwayat)
Tafsir bil Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain, dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan dengan perkataan  tabi’in. Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini sangat rentan terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum zindiq Yahudi, Parsi, dan Parsi, dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.[3]
2.      Tafsir Tahlili Bentuk bir Ra’yi / tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bir Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari mufasir itu sendiri. Mufasir dalam metode ini diberi kebebasan dalam berpikir untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3.      Tafsir Tahlily Bentuk Shufi
Tafsir Shufi mulai berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar di seliruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada aspek dan dari sudut esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para tasawuf.  Metode bentuk ini dibagi menjadi dua yaitu, teoritis dan praktis.
Dalam bentuk teoritis, mufasir menafsirkan Al-Qur’an  dengan menggunakan mazhabnya dan sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalili Syar’i. Sedangkan dalam bentuk praktis, mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan berdasarkan isyarat-isyara tersembunyi.
      4.    Tafsir Tahlili Bentuk Fikih
            Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang di tafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab fikih yang dikarang oleh imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda.
      5.    Tafsir Tahlili Bentuk Falsafi 
            Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang digunakan adalah  pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, selain itu juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak  teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
      6.    Tafsir Tahlili Bentuk ‘Ilmi
            Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan almiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam tafsir ini mufasir berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan dikaitkan dengan gejala atau fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Namun, yang sangat disayangkan adalah pada tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah yang sama.
      7.    Tafsir Tahlili Bentuk Adab Al-Ijtima’i Adab Al Ijtima’i
            Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah kemasyarakatan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.
            Jadi, metode tafsir tahlili ini dibagi oleh beberapa ulama menjadi beberapa macam, yaitu tafsir bi al-Ma’tsuri, bi al-Ra’yi, Shufi, Fikih, Falsafi, ‘Ilmi, dan Adab al-Ijtima’i. Semua bentuk tafsir tahlili memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Tafsir bi al ma’tsuri adalah tafsir yang penafsirannya dengan menggunakan ayat-ayat lain, riwayah Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in. Tafsir bi al ra’yi adalah tafsir yang penafsirannya menggunakan metode ijtihad dan penalaran. Tafsir shufi adalah tafsir yang menekankan pada isyarat-isyarat yang terdapat pada ayat yang dikemukakan oleh tasawuf. Tafsir fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum dari ayat yang ditafsir. Tafsir falsafi adalah tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan filsafat. Tafsir ‘ilmu adalah tafsir yang menggunakan pendekatan ilmiah atau teori-teori ilmu pengetahuan. Dan yang terakhir tafsir adab al-ijtima’i adalah tafsir yang menjelaskan kepada hubungan dengan kemasyarakatan.
B.     Ciri-ciri Tafsir Tahlili
            Metode Tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari metode tafsir lainnnya, ciri-ciri tersebut adalah :
1.      Mufasir menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf  ustmani, yaitu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri oleh surat An-Nas.
2.      Mufasir menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik makna harfiah setiap kata maupun asbabun nuzulnya.
3.      Bahasa yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai metode tafsir ijmali.

C.    Contoh-contoh Tafsir Tahlili
          Ada cukup banyak contoh tafsir tahlili, antara lain:
·         Contoh tafsir tahlili dalam bentuk bi al-ma’tsuri yang menafsirka Al-Qur’an dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Rasullullah SAW untuk menjelaskan sebagian kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah SAW masih hidup. Seperti penafsiran hadits Rasulullah SAW terhadap pengertianالغضو ب عليهم     dan الضا لين  (Q.S. Al-Fatihah :7), penjelasan beliau tentang firman Allah الذ ين امنواولم يلبسواايمانهم بظلم   (Q.S. Al-An’am :82) dan firman Allah يايهاالذين امنوااتقواالله حق تقاته   (Q.S. Ali ‘Imran :102) dan lain-lain.
·         Contoh yang dalam bentuk shufi, yaitu Al-Alusy berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut
(#qãZŠÏètFó™$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) ’n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ 
Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa.
Dari beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa tafsir tahlili itu menjelaskan ayat-ayat  Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau mempunyai karakter tersendiri. Selain itu, masih ada banyak lagi contoh dari tafsir tahlili.
          Ada cukup banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini, antara lain:
-          Jami’ al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary
-          Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan  Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy
-          Madarik al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
-          Anwar al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy
-          Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam Al-Tustury
-          Haqaiq al-Tafsir, karangan Al-‘Allamah Al-Sulamy (w. 421 H)
-          Ahkam Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w. 370 H)
-           Al-Jami’ li Al-Qurthuby (w. 671 H)
-          Mafatih al-Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi (w. 606)
-          At-Tafsir al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad
-          Al-Islam Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
-          Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
-          Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
Dan masih banyak lagi contoh kitab yang berdasarkan atau yang menggunakan metode tafsir tahlili ini.[4]

D.    Keistimewaan dan Kelemahannya
Dalam menganalisa tafsri tahlili, muncul beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan kegunaan metode penafasiran ini, diantaranya adalah apa keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan bagaimana pula contohnya. Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai keistimewaan dan juga kelemahan tafsir ini. Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan  dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tahlili ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi rujukan dalam ciri-ciri metode ini.
Dalam tafsir tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya adalah tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan sahabat dan para tabiin, yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam.
Keistimewaan lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan metode tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan tidak tertutup kemungkinan bahwa kosa-kata ayat tersebut sedikit banyakanya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan syair-syair kuno.
Keistimewaan lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain kedetilan, keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir tahlili dengan tafsir ijmali. Seperti disebutkan di atas, bahwa salah satu keistimewaan tafsir tahlili dibandingkan dengan tafsir ijmali adalah kedetilannya dalam menguraikan sebuah ayat. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak bila ditafsirkan dengan metode tahlili. Disamping keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita haru dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode penafsiran ini.
Salah satu kelemahan yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan Israiliyat yang mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat dan kondisi sesuai.  Akan tetapi dengan analisa kritis yang mendalam, kelemahan ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat. Israiliyyat tidaklah begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya.
Demikian pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut.
Kelemahan lain tafsir tahlili adalah kesannya yang bertele-tele dan sistematis. Tapi apakah demikian adanya? Sepintas memang akan terlihat demikian karena tafsir tahlili membutuhkan wadah yang lebih banyak dan luas dibandingkan dengan tafsir ijmali. Pemakaian kata yang banyak tidak bisa dikatakan bertele-tele bila memang kajian tersebut membutuhkan wadah bahasa yang panjang untuk menguraikannya. Bertele-telenya sebuah penafsiran adalah dengan banyak kalimat-kalimat yang tidak berfungsi  dengan baik dalam menguraikan ayat, seperti perulangan penjelasan, atau kiasan-kiasan yang tidak perlu.
Kedetilan dan keluasan bahasan tafsir tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan dibandingkan dengan tafsir ijmali yang praktis dan sederhana.
Keistimewaan metode tafsir tahlili dapat dirangkum sebagai berikut:
1.      Sumber yang bervariasi.
2.      Analisa mufassir.
3.      Kekayaan arti kosa-kata dalam Alquran.
4.      Luas.
5.      Detil
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
1.      Peluang untuk masuknya israiliyyat lebih besar.
2.      Peluang untuk masuknya informasi yang tidak penting lebih besar.
3.      Bertele-tele.
4.      Membutuhkan wadah, kata, waktu yang relatif lebih besar.[5]

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tafsir Tahlili merupakan suatu metode tafsir Al-Qur’an yang cara penafsirannya dilakukan secara detail dari setiap ayat-ayat yang ditafsir. Aspek yang dibahas dalam metode tafsir tahlili, yaitu kosa kata, lafadz, arti yang dikehendaki, dan sasaran yang dituju dari kandungan ayat yang ditafsir, yaitu unsur ijaz, balaghah, dan keindahan kalimat. Aspek pembahasan makna dari ayat yang ditafsir, meliputi hukum fikih, dalil syar’i, norma-norma akhlak, akidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, dan lain-lain. Selain itu juga mengemukakan tentang kaitan ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan sesudahnya.
Metode ini telah dibagi oleh beberapa ulama menjadi beberapa macam yaitu, tafsir ma’tsur, tafsir ra’i, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan tafsir Adab Al-Ijtima’i. Semua bentuk atau corak dari metode tafsir tahlili di atas memiliki karakter tersendiri, namun metode penafsirannya sama yaitu dengan menggunakan metode tafsir tahlili.
Ciri-ciri dari metode tafsir tahlili, antara lain:
-          Mufasir menafsirkannya ayat per ayat secara berurutan sesuai dengan urutan pada mushaf ustmani.
-          Mufasir menjelaskan isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara konfrehensif dan menyeluruh.
-          Tafsir ini dijelaskan secara panjang lebar.
Ada banyak contoh dari metode tafsir tahlili ini, baik itu contoh ayat yang ditafsirkan dengan menggunakan metode tafsir tahlili maupun contoh kitab, atau mufasir yang menggunakan metode tafsir tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun contoh dari kitab yang menggunakan tafsir tahlili, yaitu kitab Jami’ al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan  Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam Al-Baghawy, dan masih ada banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Selain itu semua, metode tafsif tahlili ini juga memiliki beberapa keistimewaan dan kelemahan. Keistimewaan dari tafsir ini antara lain, ruang lingkupnya luas, memuat berbagai ide, metode tahlili adalah merupakan metode tertua dalam sejarah penafsiran Al-Quran, ayat-ayat al-Qur’an yang kita lihat sekarang urut-urutannya sesuai dengan mushaf, dan masih banyak lagi keistimewaan dari tafsir ini. Selain keistimewaan, adapun kelemahannya, yaitu Al-Qur’an sebagai petunjuk terlihat menjadi parsial, menghasilkan penafsiran yang subyektif, masuknya pemikiran isra’iliat, dan lain-lain.
Demikianlah makalah dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan tentunya bagi penulis itu sendiri. Kritikan dan saran akan kami tunggu demi bertambah baiknya makalah ini.
                . Pengertian Tafsir Maudhu’i

Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.1 Arti maudhu’i yang dimaksud adalah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul, topic atau sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan, dipalsukan ataupun dibuat-buat.2 Adapun pengertian tafsir maudhu’i secara tematik3 adalah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul, topic atau sektor tertentu dan menertibkannya sebagaimana mungkin masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian menyimpulkan hukum-hukumnya.4
Menurut al-Sadr5 bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu dimulai dari sebuah tema yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga menyebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan al­qur’an.6 Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya, melainkan menyatukan keduanya di dalam konteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya.
Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia menyebut sistetis atas dasar karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat beserta artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun. Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, pemilihan akan dilakukan dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).7
Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya penafsiran ayat-ayat Alquran mengenai suatu tema tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang tema tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul jikalau diperlukan.

                    2. Sejarah Tafsir Maudhu’i
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi Muhammad Saw sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’tsur.  Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal. Menurut Quraish Shihab, tafsir tematik berdasarkan surat, digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudhu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada tahun 1960an.8
Buah dari tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’an,al-Mar’ah fî al-Qur’an, dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Riba fi al-Qur’an.9 Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan disempurnakan lebih sistematis oleh Prof. Dr. Abdul Hay al-Farmawi,  pada tahun 1977, dalam kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.10 Namun jika, merujuk pada catatan lain, kelahiran tafsir tematik jauh lebih awal dari apa yang dicatat Quraish Shihab, baik tematik berdasar surat maupun berdasarkan subjek.
Kaitannya dengan tafsir tematik berdasar surat al-Qur’an, Zarkashi (745-794/1344-1392), dengan karyanya al-Burhan,11 misalnya ada salah satu contoh yang paling awal yang menekankan pentingnya tafsir yang menekankan bahasan surat demi surat. Demikian juga Suyuti (w. 911/1505) dalam karyanya al-Itqan.12 Sementara tematik berdasar subyek, diantaranya adalah  karya Ibnu Qayyim al-Jauzîyah (1292- 1350 H), ulama besar dari mazhab Hanbali, yang berjudul al-Bayan fî Aqsam al-Qur`an; Majaz al-  Qur`an oleh Abu ‘Ubaid ; Mufradat al-Qur`an oleh al-Raghib al-Isfahani; Asbab al-Nuzûl oleh Abu  al-Hasan al-Wahidi al-Naisaburi (w. 468/1076), dan sejumlah karya dalamnya, yakni :

1)      Naskh al-Qur`an oleh Abu Bakr Muhammad al-Zuhri (w. 124/742),

2)      Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh fî al-Qur`an al-Karim oleh al-Nahhas (w. 338/949),

3)      al-Nasikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Salama (w. 410/1020),

4)      al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ibn al-‘Atâ`iqi  (w.s. 790/1308),

5)      Kitâb al-Mujâz fî al-Nasikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-Fârisî.

Sebagai tambahan, tafsir Ahkam al-Qur`an karya al-Jasas (w. 370 H.), adalah contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-Qur’an. Karena itu, meskipun tidak fenomena umum, tafsir tematik sudah diperkenalkan sejak sejarah awal tafsir. Lebih jauh, perumusan konsep ini secara metodologis dan sistematis berkembang di masa kontemporer. Demikian juga jumlahnya semakin bertambah di awal abad ke 20, baik tematik berdasarkan surat al-Qur’an maupun tematik berdasarkan subjek atau topik.
3. Metode Tafsir Maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.13

Menurut  Al-farmawi metode  tafsir maudhu’i  adalah metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbabun nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, dan didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.14 Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan dengan menelusuri ayat demi ayat, tetapi ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi dan lain sebagainya.
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan tema ragam yang ada dalam surat tersebut antara satu ayat dengan ayat lainnya akan bisa dihubungkan dengan tema tersebut, sehingga dalam satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang akan dibahas dalam satu pokok permasalahan tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.15
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian. Pertama, menyajikan kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan dengan sebuah nama surat yang dirangkum padanya. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.16
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiran yang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala (al-ra’y al-mahdh). Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.17 Dalam perkembangannya, metode maudhu’i memiliki dua bagian, yaitu:
a. Mengkaji sebuah surat dengan kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya, lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian lain, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi. Misalkan,
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.” (QS. Saba : 1-2)

Di Al-Qur’an dalam surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh dan kehendak-Nya yang bijak.

b. Menghimpun seluruh ayat Al-qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan dibawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.
Contohnya: Allah SWT, berfirman:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima tobatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala di atas, nabi mengemukakan ayat :
“Keduanya berkata, : ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.”
Contoh lainnya:
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, yang akan dbiacakan kepadamu.”
Untuk menjelaskan pengecualian yang terdapat pada ayat saat disana, nabi merujuk firman Allah :
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi“
4. Kelebihan Tafsir Maudhu’i
Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:
     Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
     Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
     Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan bayangan di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.
    Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir lain. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.18
5. Kekurangan Tafsir Maudhu’i
Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain :
1. Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda.

Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.

2. Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.19
6. Kedudukan Tafsir Maudhu’i

Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era sekarang ini yaitu :20

     Metode maudhu’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan.
     Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu.
     Dengan metode maudhu’i seorang pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema yang dibahas dengan cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut.
     Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat.
     Metode maudhu’i sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu.
    Dengan metode maudhu’i orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
    Metode maudhu’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan.
    Metode maudhu’i mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan “kotoran” terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebar doktrin-doktrin dan isme-isme kemanusiaan yang lain sehingga sulit untuk dibedakan.

Dari berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode yang dikemukakan, menurut Hujair A.H Sanaky yang melihat kebutuhan umat pada zaman modern, metode Maudhu’i mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir serta situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan umat (pembaca Tafsir) ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i, mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.21

7. Perbedaan Metode Tafsir Maudhu’i dan Metode Tahlili

No
Metode Maudhu’i
Metode Tahlili

1.Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat, atau kronologi kejadian.Mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.

2.Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema ysng sedang dikaji. Oleh  karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.

3.Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat

4.Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.Sulit ditemukan tema- tema tertentu yang utuh

5.Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.

8. Perbedaan Metode Tafsir Maudhu’i dan Metode Muqaran
No
Metode Maudhu’i
Metode Muqaran
1.         Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.          Mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
2.         Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir.         Mufassir terikat dengan uraian para mufassir.

9. Perbedaan Metode Tafsir Maudhu’i dan Metode Ijmali (Global)

No
Metode Maudhu’i
           

Metode Ijmali
1.         Mufassir tidak terikat dengan susunan mushaf.   Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
2.         Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.          Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.

10. Operasionalisasi Kerja Tafsir Maudhu’i

Menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i.22 Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu :

    Menetapkan masalah yang akan dibahas,
    Menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut,
    Menyusun urutan-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiyah dan Madaniyah. Hal ini untuk memahami unsur tahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran,
    Mempelajari atau memahami korelasi (munasabat) masing-masing ayat dengan surat-surat di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan tema sentral pada suatu surat)
    Melengkapi bahan-bahan dengan hadist-hadist yang berkaitan dengan masalah yang dibahas,
    Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah,
    Mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran,
    Menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas.23
Contoh:
Permasalahan potensi-potensi manusia dalam Alquran.
     Masalahnya apa jawaban Alquran tentang potensi-potensi manusia,
     Mencari kata kunci yakni kata aqli, qalbu, nafsu, ruuh, jasad, dan lain-lain,
     Diantara sekian ayat dipilih yang mewakilinya dan ditertibkan sesuai dengan Makkiyah Madaniyahnya,
     Melengkapi bahan-bahan dari hadis,
    Menyusun outline penelitian,
     Mempelajari secara seksama, dengan ilmu-ilmu yang dikuasai dan dapat memakai tafsir bil ma’tusr, tahlili atau lainnya,
     Menyusun hasil penelitian sebagai jawaban Alquran terhadap tema yang dibahas.

Dengan memperhatikan kompleksnya pembahasan proses kerja dalam penerapan metode tafsir maudhu’i, maka membutuhkan seorang mufassir yang betul-betul berwawasan luas akan keilmuannya terutama ketika meneliti berbagai ayat yang berhubungan dengan tema dan memilihnya secara representatif. Di samping seorang mufassir tabu tentang perangkat ulumul quran terutama ilmu munasabah, asbabunnuzul (kalau ada), tafsir bi al-ma’tsur, ilmu bahasa arab, juga si mufassir harus bersikap hati-hati dan tekun.

Oleh karena itu begitu urgensinya penerapan metoda ini dalam rangka mencari solusi jawaban Alquran terhadap permasalahan umat, maka setiap mufassir seharusnya melengkapi dirinya perangkat penerapan metode ini sehingga hasilnya dapat memuaskan. Kalau dilihat dari kompleksnya operasionaliaasi kerja metode tafsir ini akan dapat menjawab permasalahan umat atau paling tidak akan lebih mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Karena metode ini di samping membiarkan ayat-ayat Alquran berbicara dengan dirinya sendiri, mencakup pendapat para sahabat, tetap memakai hadis-hadis Nabi, juga meng-sintesakannya dengan pengalaman kemanusiaan.
_______________________________________________________________________________________

1      Fr. Louis Ma’luf Al-Yassu’I dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i. “Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam”. Dar al-Masyriq, Beirut;Lebanon, 1987, hal. 905

2      Abdul Djalal. “Urgensi Tafsir Maudlin’i Pada Masa Kini”. Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 83-84

3      hal yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu

4      Abd al-Hayy al-Farmawi. Mu’jam al-alfaz wa al-A’lam Al-Qur’aniyah, Dar al-`ulum, Kairo, 1968, hal. 52

5      ulama Syiah Irak , filosof, dan juga pendiri Partai Dawa Islam Irak

6      Muhammad Baqir al-Sadr. “Pendekatan Temalik Terhadap Tafsir AI-Qur’an”. dalam Ulumul Quran, Vol I, No. 4, 1990, hal. 34

7      Abd al-Hayy al-Farmawi. “Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i (al-Hadharah al­Arabiyah)”. Kairo, 1977, hal. 62

8      M. Quraish Shihab. “Membumikan al-Quran.” cetakan Ke XIX, Bandung: Mizan, 1999, hal. 114

9      ibid. hal. 114

10     Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Metode Tafsir Maudhu‘i: Suatu Pengantar, terjemahan oleh Suryan A. Jamrah. (Jakarta: Rajawali Pers, 1996).

11     Badr al-Din Muhammad al-Zarkashi. “al-Burhan fi Ulum al-Qur`an.” Beirut,Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408/1988,  1: hal. 61-72

12     Jalal al-Din al-Suyuthi. “al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.” Kairo: Dar al-Turath, 1405/1985, hal. 159-161

13     http://id.wikipedia.org/wiki/tafsir_al-qur’an, 05.31 pm, 23 April 2012

14     Abd al-Hayy al-Farmawi. Op. Cit.  hal. 52. dalam Nashruddin Baidan. “Metodologi Penafsiran al-Qur’an”. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988, hal. 151

15     M. Quraish Shihab. “Membumikan al-Qur’an”. Bandung: Mizan, 1992, hal. 74

16     M. Quraish Shihab. “Wawasan al-Quran, Tafsir Mau atas Pelbagai Persoalan Umat”. Bandung: Mizan, 1997, hlm. xiii

17     Nashruddin Baidan. “Metodologi Penafsiran al-Qur’an”. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988, hal. 152

18     Jalal al-Din al-Suyuti. Op. Cit.  hal. 18

19     Nashruddin Baidan. Op. Cit. hal. 165-168.

20    Ali Hasan Al ‘Aridl. “Tarikh Ilmu al-Tafsir.” hal. 92-95. Dalam Muqowin, “Metode Tafsir.” Makalah Seminar al-Qur’an, Program Pasca Sarjana (S-2) IAIN Sunan Kalijaga, 18 Desember 1997, Yogyakarta, hal. 22-23. Hujair a.h.sanaky, “Metode tafsir (perkembangan metode tafsir mengikuti warna atau corak mufassirin.” Al-Mawarid, Edisi XVIII, 2008, hal 22

21     Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.hal. 23

22     Abd al-Hayy al-Farmawi. Op. Cit.  hal. 61-62

23     Abd al-Hayy al-Farmawi. Op. Cit.  hal. 61-62

 Para Ahli Tafsir Terkenal Dari Kalangan Umat Islam

Bismillaah…


·   MUJAHID


Dia adalah Mujahid bin Jabr al-Makky, Mawla as-Sa`ib bin Abi as-Sa`ib al-Makhzumy, lahir pada tahun 21 H. Beliau mentransfer tafsir al-Qur’an dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu anhu.

Ibn Ishaq meriwayatkan darinya, bahwa ia pernah berkata, “Aku telah menyodorkan Mushaf kepada Ibn ‘Abbas sebanyak tiga kali, dari permulaannya hingga penghujungnya. Aku minta ia berhenti pada setiap ayat dan menanyakan tentangnya kepadanya.”

Sufyan at-Tsaury pernah berkata, “Bila tafsir itu datang kepadamu melalui Mujahid, maka itu sudah cukup bagimu.”

Asy-Syafi’i dan al-Bukhary sangat mengandalkan tafsirnya. Al-Bukhary banyak sekali menukil darinya di dalam kitab Shahih-nya.

Adz-Dzahaby berkata di akhir biografi tentangnya, “Umat bersepakat atas keimaman Mujahid dan berhujjah dengannya.”

Beliau wafat pada tahunn 104 H di Mekkah saat sedang sujud dalam usia 83 tahun.
·   QATADAH
 Beliau adalah Qatadah bin Di’amah as-Sadusy al-Bashary, terlahir dalam keadaan buta pada tahun 61 H. Beliau giat menuntut ilmu dan memiliki hafalan yang kuat. Karena itu, beliau pernah berkisah tentang dirinya, “Aku tidak pernah mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Ulangi lagi.!’ Dan tidaklah kedua telingaku ini mendengar sesuatu apa pun melainkan langsung ditangkap oleh hatiku (langsung dapat menangkap dan mencernanya dengan baik-red.,).”

Imam Ahmad pernah menyinggung tentang dirinya lalu membicarakannya secara panjang lebar. Ia lalu menyiarkan mengenai keilmuan, kefiqihan dan pengetahuannya tentang berbagai perbedaan dan tafsir. Ia juga menyebutnya sebagai seorang yang kuat hafalan dan ahli fiqih. Imam Ahmad berkata, “Amat jarang anda temukan orang yang dapat mengunggulinya. Tapi kalau dikatakan ‘ada yang seperti dia’ maka ini bisa saja terjadi.”

Ia juga mengatakan, “Beliau (Qatadah) adalah seorang yang paling hafal dari kalangan penduduk Bashrah, tidak lah ia mendengarkan sesuatu melainkan langsung hafal.”

Beliau wafat di suatu tempat bernama Wasith, pada tahun 117 H dalam usia 56 tahun.
--------
(SUMBER: Ushuul Fii ‘Ilm at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal.37-38)

·   ATH-THABARIY
 Nama Mufassir
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid ath-Thabariy, al-Imâm al-'Allâmah, al-Hâfizh, seorang sejarawah.  Beliau lahir tahun 224 H dan wafat 310 H.

Nama Kitab
Jâmi' al-Bayân Fî Ta`wîl Ayi al-Qur`ân

Spesifikasi Umum
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Ibn Taimiyyah di dalam mukaddimah Ushûl at-Tafsîr, hal.90: " Ia termasuk kitab tafsir bercorak Ma`tsûr yang paling agung dan paling besar kedudukannya. Beliau telah mengoleksi berbagai ilmu-ilmu al-Qur'an seperti Qirâ`ât (aspek-aspek bacaan), makna-maknanya, hukum-hukum fiqih yang diintisarikan dari ayat-ayatnya, penjelasan makna-makna ayat yang diambil dari bahasa orang-orang Arab, sya'ir dan sebagainya."

'Aqidahnya
Beliau memiliki sebuah buku seputar 'Aqidah Ahlussunnah yang diberinya judul "Sharîh as-Sunnah" (sudah dicetak). Sementara 'aqidahnya di dalam penafsiran, beliau adalah seorang imam panutan, membela madzhab Salaf, berargumentasi dengannya dan membelanya akan tetapi di dalam menetapkan sifat Ghadlab (marah) dan Hayâ` (malu), beliau menyebutkan semua pendapat Ahli Tafsir namun tidak menguatkan satupun darinya.

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau komitmen menyebutkan semua riwayat dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya. Kebanyaknya tidak ditanggapi beliau baik dengan menshahihkan ataupun melemahkannya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyebutkan hukum-hukum fiqih yang ada di dalam ayat, pendapat para ulama dan madzhab-madzhab mereka, memilih salah satu darinya dan menguatkannya dengan dalil-dalil ilmiah serta menyebutkan Ijma' umat di dalam pendapat yang telah dikuatkannya dari berbagai pendapat tersebut. Beliau adalah seorang Imam Mujtahid Muthlaq. Para Ahli Tafsir senantiasa merujuk pendapatnya dan mereka merasa berhutang budi padanya.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau termasuk ulama Qirâ`ât yang terkenal. Oleh karena itu, beliau amat memperhatikan sisi Qirâ`ât dan makna-maknanya, membantah aspek-aspek bacaan yang Syâdz (aneh/langka), termasuk cakupannya yang dapat menyebabkan perubahan dan penggantian terhadap Kitabullah Ta'ala.

Sikapnya Terhadap Isrâ`iliyyât (Kisah-Kisah Tentang Bani Israil)
Di dalam kitab tafsirnya, beliau mengetengahkan juga kabar-kabar dan kisah-kisah tentang Ka'b al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Ibn Juraij, as-Suddiy, lalu menanggapinya secara kritis akan tetapi tidak konsisten mengkritisi semua yang diriwayatkannya.

Sikapnya Terhadap Sya'ir, Nahwu Dan Bahasa
Kitabnya banyak sekali mencakup berbagai untaian yang berisi solusi bahasa dan Nahwu. Kitabnya meraih ketenaran yang sangat besar. Kebanyakannya, dia merujuk kepada Bahasa orang-orang Arab dan terkadang menguatkan sebagian pendapat. Beliau juga memaparkan sya'ir-sya'ir Arab Kuno, berargumentasi dengannnya secara luas, banyak mengemukakan pendapat-pendapat Ahli Nahwu dan mengarahkan pendapat-pendapat mereka serta menguatkan sebagian pendapat atas pendapat yang lain.
------
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, Hal.9-11)

·   Tafsir Ibn Katsir (Ibn Katsir)
Nama Mufassir
'Imâd ad-Dien, Abu al-Fidâ`, Isma'il bin 'Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi'iy, seorang Imam, Hâfizh dan juga sejarawan.  Wafat tahun 774 H.

Nama Kitab
Tafsir al-Qur`ân al-'Azhîm

Spesifikasi Umum
Tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir kategori Ma`tsûr yang paling masyhur dan menduduki peringkat ke-dua setelah Tafsir ath-Thabariy.
Tafsir ini juga interes terhadap segi periwayatan, yaitu menafsirkan Kitabullah dengan hadits-hadits dan atsar-atsar yang langsung disandarkan kepada para periwayatnya. Pengarangnya juga sangat memperhatikan sisi penyebutan ayat-ayat yang serupa dengan ayat yang ingin ditafsirkannya, yang dinamakan dengan Tafsir al-Qur`ân bi al-Qur`ân (penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an sendiri).

'Aqidahnya
Beliau ber'aqidah Salaf dan hal ini tidak perlu diherankan karena beliau adalah salah seorang murid Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahumallah.

Beliau memiliki sebuah kitab di dalam masalah 'aqidah berjudul "al-'Aqâ`id". Di dalam kitab ini, beliau menjelaskan 'aqidah Salaf berupa penetapan terhadap sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, mata, wajah, ilmu, kalam (bicara), ridla, Sakhth (murka), cinta, benci, senang, tertawa dengan tanpa menyebutkan Takyîf (bagaimana caranya), Tasybîh (penyerupaan), Tahrîf (perubahan) dan Tabdîl (penggantian). Di dalam kitab tafsirnya, beliau menetapkan kebanyakan sifat-sifat tersebut secara global sementara sebagian orang menafsirkannya dengan Lâzim ash-Shifah (konsekuensi sifat itu) mengikuti cara Imam ath-Thabariy, seperti sifat malu dan mata.

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau mengetengahkan banyak hadits dan atsar dengan sanad-sanad (jalur-jalur transmisi)-nya dan interes terhadap penilaian riwayat-riwayat dari sisi keshahihan dan kelemahannya serta menyebutkan sisi al-Jarh wa at-Ta'dîl (metode kelaikan periwayatan) terhadap para periwayat, sebab beliau adalah seorang Hâfizh yang mengenal seni-seni hadits dan para periwayatnya, di samping beberapa karya-karya tulis lainnya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau mengetengahkan diskusi-diskusi fiqih, pendapat-pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka ketika menafsirkan ayat-ayat tentang hukum akan tetapi tidak terlalu melebar dan mengarahkan siapa saja yang ingin menambah wawasannya kepada beberapa kitab fiqih.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun dengan sangat ringkas.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Beliau memiliki kelebihan dengan mengkritisi riwayat-riwayat yang bernuansa Isrâ`îliyyât dan secara umum memberikan peringatan akan hal itu serta biasanya mengkritisinya manaka menyinggung tentangnya.

Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Sangat sedikit sekali beliau mengetengahkan hal yang terkait dengan I'râb (penguraian kedudukan suatu kata di dalam kalimat) dan Nahwu, demikian pula halnya dengan masalah sya'ir.

-----------
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Ibn Katsir, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:

    ad-Durar al-Kâminah, karya Ibn Hajar (I:399)
    
    al-Badr ath-Thâli' karya az-Zarkasyiy (I:153)
    
    Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (VI:231)
    
    Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (I:111-113)
    
    'Umdah at-Tafsîr karya Syaikh Ahmad Syâkir

(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.39-40)

·   Tafsir Al-Qurthubiy


Nama Mufassir
Imam Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy.  Wafat tahun 671 H.

Nama Kitab
Al-Jâmi' Li Ahkâm al-Qur`ân

'Aqidahnya
Dia seorang penganut aliran Asya'riyyah dan pena'wil (Cara seperti ini menyimpang dari manhaj Salaf-red.). Hal ini dapat diketahui bila meneliti tafsirnya dan juga bukunya yang berjudul "al-Asnâ Fî Syarh Asmâ` al-Husnâ". Dalam bab Asmâ Wa ash-Shifât (Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah) beliau menukilnya dari para imam-imam aliran Asy'ariyyah seperti al-Juwainiy, al-Bâqillâniy, ar-Râziy, Ibn 'Athiyyah dan sebagainya.


Di dalamnya, beliau juga membantah terhadap Ahli Tasawwuf dan mengingkari prilaku-prilaku dan ucapan-ucapan mereka yang bertentangan dengan syari'at.

Spesifikasi Umum
Mengenai spesifikasi kitabnya, pengarangnya sendiri menyatakan, "Ia merupakan catatan ringkas yang berisi beberapa poin; tafsir, sisi bahasa, I'râb, Qirâ`ât, bantahan terhadap aliran yang menyimpang dan sesat dan hadits-hadits yang banyak sekali sebagai penegas terhadap hukum-hukum dan nuzul Ayat-ayat yang kami sebutkan, mengoleksi makna-maknanya dan menjelaskan ungkapan-ungkapan yang rumit dengan mengetengahkan ucapan-ucapan para ulama Salaf, demikian juga ulama Khalaf yang mengikuti mereka."

Sikapnya Terhadap Hadits Dan Sanad
Beliau banyak mengetengahkan hadits-hadits Nabawi dan telah berjanji pada dirinya untuk menisbahkannya kepada para pengarangnya dan terkadang mengemukakan hadits-hadits tersebut tanpa sanad (mata rantai/jalur transmisi periwayatan) juga.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memaparkan secara panjang lebar ayat-ayat hukum, menyinggung berbagai permasalahan yang diperselisihkan dan terkait dengan ayat-ayat, baik dalam dimensi dekat ataupun jauh dengan menyertakan penjelasan dalil-dalil pendapat-pendapat tentang hal itu.

Beliau seorang yang Munshif (adil/moderat), tidak fanatik terhadap madzhabnya sendiri, yaitu madzhab Malikiy, tetapi tetap berjalan seiring dengan dalil.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau menyinggung juga beberapa Qirâ`ât namun sedikit sekali.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Di dalam Mukaddimah kitabnya ini, beliau berkata, "Dan saya mengesampingkan banyak sekali kisah-kisah dan berita-berita yang ditulis oleh sejarawan, kecuali hal yang memang dianggap perlu."

Sikapnya Terhadap Kebahasaan, Sya'ir Dan Nahwu
Beliau menyinggung juga tentang I'râb, menjelaskan lafazh-lafazh al-Qur'an yang asing,. Banyak sekali memutuskan sesuatu berdasarkan aspek bahasa, demikian juga mengambil dalil penegas dari sya'ir-sya'ir Arab.
------------
Catatan:
Untuk mengetahui lebih banyak tentang biografi Imam al-Qurthubiy, silahkan merujuk kitab-kitab berikut:

1. Thabaqât al-Mufassirîn karya Imam as-Suyûthiy (88)
2. Syazarât adz-Dzahab karya Ibn 'Imâd (V:335)
3. Thabaqât al-Mufassirîn karya ad-Dâwûdiy (II:69-70)
4. Mu'jam al-Mufassirîn karya 'Adil Nuwaihidl (II:479)

(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fi Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu 'Abdillah Muhammad al-Hamûd an-Najdiy, h.24-25)

·   Tafsir Al-Baghawiy


Mukaddimah
Inilah salah satu tafsir Salaf yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dan penuntut ilmu sehingga di dalam menafsikan ayat-ayat, khususnya yang terkait dengan Asmâ` Allah dan Sifat-Nya terhindar dari takwil-takwil yang batil.

Nama Mufassir
Beliau adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud, yang lebih dikenal dengan al-Farrâ` al-Baghawiy, penghidup as-Sunnah, seorang Imam dan Hâfizh.

Nama Kitab
Ma'âlim at-Tanzîl.

Spesifikasi Umum
Beliau memaparkan ayat dengan sangat mudah dan ringkas. Buku ini aslinya adalah Mukhtashar (ringkasan) dari Tafsîr ats-Tsa'âlabiy akan tetapi beliau menjaga tafsir tersebut dari perkataan-perkataan bid'ah dan hadits-hadits Mawdlu'. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah di dalam bukunya Muqaddimah Fî Ushûl at-Tafsîr, halaman 76.  Beliau juga menukil perkataan ulama Salaf mengenai perbedaan pendapat di dalam tafsir dan tidak menguatkan satu riwayat atas riwayat yang lain.

'Aqidahnya
Beliau seorang yang ber'aqidah Salaf; menetapkan Asmâ` dan Shifât yang ditetapkan sendiri oleh Allah Ta'ala atas diri-Nya. Dalam hal ini, beliau telah menetapkan hal itu pada mukaddimah kitabnya yang amat berharga Syarh as-Sunnah. Di dalam tafsirnya tersebut, yang dominan adalah beliau menetapkan Asmâ` dan Shifât tersebut namun beliau ternyata juga terjebak ke dalam penakwilan terhadap sebagian Shifât Allah (padahal ini menyalahi manhaj ulama Salaf-red.,), seperti ar-Rahmah, al-Hayâ` (malu), al-Ghadlab (murka/marah). Ar-Rahmah lbeliau takwilkan dengan Irâdah Alllah al-Khair Li Ahlihi (kehendak Allah untuk berbuat baik terhadap pelakunya, I:18). Beliau juga menakwilkan al-Hayâ` dengan at-Tark wa al-Man'u (Membiarkan dan mencegah, I:43) dan al-Ghadlab dengan Irâdah al-Intiqâm (keinginan untuk mendendam, I:23).

Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau biasanya menukil semua yang berasal dari ulama Salaf mengenai tafsir suatu ayat tanpa menyebutkan Isnâd -nya. Akan tetapi beliau telah menyebutkan sanad-sanadnya hingga sampai kepada mereka itu pada mukaddimah Tafsirnya. Beliau biasanya amat selektif terhadap keshahihan hadits yang disandarkannya kepada Rasulullah. Sementara itu, beliau tidak peduli terhadap hadits-hadits Munkar dan Mawdlu' (palsu) namun terkadang meriwayatkan juga dari al-Kalbiy dan periwayat-periwayat lemah selainnya.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Belaiu memaparkan juga permasalahan-permasalahan fiqih dengan gaya bahasa yang mudah dan menukil perbedaan yang ada tanpa mengupasnya secara panjang lebar.

Sikapnya Terhadap Qirâ`ât
Beliau juga menyinggung tentang Qirâ`ât (jenis-jenis bacaan ayat) tanpa bertele-tele.

Sikapnya Terhadap Isra`iliyyat
Beliau menyinggung tentang sebagian Isra`iliyyat namun tidak memberikan tanggapan atasnya.

Sikapnya Terhadap Masalah Sya'ir, Kebahasaan Dan Nahwu
Beliau menghindari kupasan panjang lebar di dalam pembahasan I'râb (penguraian anak kalimat) dan hal-hal yang terkait dengan Balaghah namun menyinggung hal-hal yang memang urgen disebutkan untuk menyingkap makna suatu ayat.
-----
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamud an-Najdiy, h.14-15)
      
    Tafsir AL-MANAR

Nama Mufassir
Muhammad  Rasyîd bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih (reformis) dan Mujaddid.  Lahir tahun 1283 H dan wafat tahun 1353 H.

Nama Kitab
Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat 101.

‘Aqidahnya
Untuk menjelaskan ‘aqidahnya dan siapa Syaikh Muhammad ‘Abduh ini, kiranya cukup menukil ucapan Syaikh al-Albany sebagai yang dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibany di dalam bukunya Hayâh al-Albâny (I:24),  Beliau Mengatakan :
“Sayyid Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah memiliki andil besar terhadap Dunia Islam secara umum dan secara khusus terhadap kaum Salafiyyin. Hal ini kembali kepada sosok beliau yang merupakan salah seorang da’i yang langka di dalam menyuarakan manhaj Salaf di seluruh jagad raya melalui majalahnya “al-Manar” . Di dalam hal tersebut, beliau sungguh telah berjuang yang patut disyukuri atasnya. Dan, semoga beliau mendapatkan pahala yang tersimpan di sisi Rabbnya atas hal itu.


Di samping dikenal sebagai da’i yang mengajak kepada manhaj Salaf Shalih dari sisi aqidah dan pemikiran serta tingkah laku, beliau juga memiliki upaya yang patut disyukuri di dalam takhrij hadits shahih dan dla’if. Tidak dapat disembunyikan oleh setiap muslim yang memiliki sedikit wawasan keislaman, bahwa hadits-hadits shahih inilah satu-satunya jalan untuk memahami Kitabullah secara benar sebab banyak sekali ayat-ayat yang tidak dapat dipahami kecuali melalui penjelasan as-Sunnah an-Nabawiyyah. Allah telah menekankan hal ini di dalam firman-Nya:


“Dan telah Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur’an) untuk menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).
 Ayat ini dan nash-nash lainnya menguatkan kepada seorang Muslimi bahwa tidak ada jalan dalam memahami al-Qur’an selain melalui jalan Sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Dan, Sayyid Muhammad Rasyid Ridla memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu hadits, sampai kepada upayanya meletakkannya dalam lingkup ilmiah, sosial dan politik. Banyak sekali beliau mengingatkan kelemahan sebagian hadits dari sisi sanadnya melalui majalah al-Manar yang merupakan ujung tombak yang baik dan mampu mengalihkan perhatian kaum Muslimin untuk lebih fokus terhadap hadits-hadits Rasulullah…Bilamana adalah sepatutnya orang yang memiliki kelebihan mengakui kelebihan pemilikinya, maka saya mendapati diri saya pada kesempatan yang baik ini harus mencatatkan kalimat ini agar diketahui oleh siapa saja yang telah sampai kepadanya (membacanya) bahwa, pertama, saya atas karunia Allah memiliki orientasi kepada manhaj Salaf. Kedua, dapat membeda-bedakan mana hadits-hadits dla’if dan hadits shahih. Semua itu, keutamaan (andil besar) pertamanya kembali kepada sosok Sayyid Ridla rahimahullah melalui beberapa volume dari majalah al-Manar-nya yang merupakan hal pertama kali yang saya ketahui ketika mulai bergiat di dalam menuntut ilmu…”

Dalam hal ini, memang ada beberapa kritikan pula yang diarahkan syaikh al-Albany terhadap Syaikh Muhammad Rasyid Ridla namun tidak mengurangi kapasitasnya sebagai seorang penyeru kepada dakwah salafiyyah.
Sedangkan di dalam masalah Asmâ` dan Shifât, syaikh Rasyid Ridla menetapkan sebagian besarnya berdasarkan manhaj Salaf.

Spesifikasi Umum
Syaikh Rasyid Ridla banyak menukil dari gurunya, Syaikh Muhammad ‘Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit. Manhaj beliau di dalam tafsir adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Sebagian muridnya bercerita tentangnya, bahwa beliau tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Mengenai motivasinya menulis tafsir seperti itu, beliau menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan pembacanya dari tujuan-tujuan yang agung dan hidayah yang mulia di mana ada yang menyibukkannya dari al-Qur’an lantaran banyaknya bahasan-bahasan tentang I’rab, kaidah-kaidah nahwu, makna-makna dan istilah-istilah bayan. Di antaranya pula, mengalihkannya dengan debat kusir Ahli kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi dan fanatisme masing-masing terhadap aliran dan madzhabnya. Ada lagi di antaranya yang mengalihkannya dengan begitu banyaknya riwayat-riwayat yang tercampur dengan khurafat Israiliyyat. Sementara mufassir seperti al-Fakhrur Rozy, menurut beliau, menambah lagi hal baru dengan memasukkan ilmu-ilmu matematika, ilmu alam (eksakta) dan ilmu-ilmu lainnya terkait dengan beberapa aliran/faham yang ada pada masanya, seperti falak yunani, dsb. Cara seperti ini diikuti pula oleh ulama kontemporer (masanya syaikh Rasyid) dengan memasukkan beragam ilmu yang ada pada masa ini dan seni-seninya, seperti menulis beberapa pasal yang panjang dalam menafsirkan ayat, ketika membahas kata “as-Samâ`” (langit) dan “al-Ardl” (bumi). Yaitu dari sisi ilmu falak (astronomi), tumbuh-tumbuhan (anatomi) dan ilmu hewan (biologi) sehingga menghalangi pembacanya dari wahyu sebenarnya yang karenanya Allah menurunkan kitab-Nya.
Beliau menyebutkan, “Maka, adalah menjadi kebutuhan yang mendesak terhadap penafsiran yang mengarahkan perhatian pertamanya kepada petunjuk al-Qur’an dalam kapasitas yang sesuai dengan ayat-ayat yang diturunkan ketika mengulasnya. Demikian juga, yang sesuai dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an seperti dengan peringatan, berita gembira, hidayah dan perbaikan. Hal inilah yang anda dapatkan di dalam rincian pembahasan pada mukaddimah yang diambil dari kajian yang diberikan oleh syaikh kami, Ustadz Imam Muhammad ‘Abduh rahimahullah. Kemudian, terhadap titik perhatian pada tuntutan zaman ini dengan ungkapan yang mudah, memperhatikan tingkat pemahaman para pembaca, menyingkap syubuhat para pegiat dalam bidang filsafat, ilmu eksakta dan selainnya seperti yang akan anda lihat nanti. Dan hal inilah yang kiranya Allah mudahkan atas karunia-Nya kepada si lemah ini (maksudnya diri beliau dan ini pada pembukaan kitabnya tersebut-red.,).”

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau memberikan kemerdekaan sepenuhnya pada dirinya untuk menggali hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan beliau berbeda pendapat dengan Jumhur ulama dalam beberapa masalah, di mana beliau memberikan bantahan terhadap mereka dengan jawaban yang sedikit keras, seperti pendapat beliau yang membolehkan orang musafir untuk bertayammum sekalipun dia mendapatkan air. Beliau juga lebih memperluas penjelasan hukum-hukum fiqih sosial dan pembicaraan atas kondisi kontemporer umat baik di belahan timur maupun barat.

Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan Nahwu kecuali sedikit sekali. Dia menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang indah, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit.

Sikapnya Terhadap Isrâ`îliyyât
Sangat sedikit menyinggung tentang Isrâ`îliyyât bahkan beliau mengingkari sikap para mufassir yang banyak mengetengahkannya. Akan tetapi beliau malah berbicara tentang hal yang serupa dengan itu, yaitu banyak menukil dari al-Kitab berita-berita dan atsar-atsar di dalam menafsirkan nama-nama yang tidak dikenal di dalam al-Qur’an atau melalui hal itu, beliau membantah pendapat sebagian para mufassir.
----------
SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî Manâhij al-Mufassirîn, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.59-65

- Muhammad Rasyîd Ridla, Thawdun Wa Ishlâhun, Da’watun Wa Dâ’iyah karya Khalid bin Fawzy bin ‘Abdul Hamîd Alu Hamzah

       Tafsir AS-SA’DY

Nama Mufassir
Beliau adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang banyak buku. (Untuk melihat biografinya, silahkan baca: Masyaahiir ‘Ulamaa` Najd, h.392; Mu’jam al-Mufassiriin, Jld.I, h.279)

Nama Kitab
Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan .

Spesifikasi Umum
Sebuah kitab tafsir berukuran sedang di mana pengarangnya memfokuskan pada penjelasan makna-makna al-Qur’an di dalam menuangkan inspirasinya dan berjalan sesuai dengan manhajnya tanpa sibuk dengan penguraian lafazh-lafazh dan seni-seni Nahwu dan sya’ir. Di dalam mukaddimah kitabnya, beliau menyebutkan bahwa al-Qur’an dapat menunjukkan kepada kampung yang damai (surga), menyingkap jalan yang menuju ke kampung berbagai kepedihan (neraka), bahwa Allah Ta’ala telah menjelaskan ayat-ayat-Nya dengan sesempurna penjelasan, Dia tidak memerintahkan di dalamnya selain kepada keadilan, berbuat baik dan kebajikan, Dia telah menurunkannya dengan lisan ini (arab) agar kita memahaminya dan kita diperintahkan untuk mentadabbur (merenungi)-nya. Hal itu semua, karena mentadabburinya merupakan kunci segala kebaikan.

Setelah mukaddimahnya, beliau mengatakan, “Bila hal ini telah diketahui, maka diketahuilah pula betapa hajat setiap mukallaf untuk mengetahui makna-maknanya dan mendapatkan petunjuknya. Seharusnyalah seorang hamba memporsir tenaganya dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempelajari dan memahaminya dengan cara-cara yang paling dekat, yang dapat menyampaikan kepada hal tersebut.”

Selanjutnya beliau menyebutkan latar belakang penulisan kitabnya tersebut, “Banyak sekali tafsir-tafsir para ulama terhadap Kitabullah; ada yang panjang sekali sehingga pada kebanyakan bahasannya keluar dari tujuan, ada yang terlalu ringkas sebatas mengurai sebagian lafazh-lafazh bernuansa bahasa untuk memutus pandangan terhadap maksudnya padahal yang seharusnya adalah menjadikan makna sebagai tujuan sebab lafazh hanyalah sarana menuju makna tersebut, sehingga dengan begitu dapat melihat redaksi pembicaraan dan kenapa ia diketengahkan, membandingkannya dengan padanannya di tempat yang lain, mengetahui bahwa ia diketengahkan semata untuk memberikan hidayah kepada semua makhluk baik yang berilmu maupun yang jahil, baik yang hidup di perkotaan ataupun di pedalaman. Jadi, melihat redaksi ayat-ayat disertai pengetahuan terhadap semua kondisi Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam., sirahnya bersama para shahabatnya dan musuh-musuhnya saat ia turun; termasuk hal yang paling membantu di dalam mengetahui dan memahami maksudnya, khususnya lagi bila ditambah dengan pengetahuan akan ilmu-ilmu linguistik Arab yang beragam. Siapa saja yang mendapat taufiq dalam hal itu, maka yang perlu dilakukannya hanyalah agar antusias dalam mentadabburinya, memahaminya dan banyak tafakur terhadap lafazh-lafazh, makna-makna, konsekuensi-konsekuensinya dan kandungan serta arahannya baik secara Manthuuq (implisit) maupun Mafhuum (eksplisit). Bila benar-benar mengerahkan segenap kemampuan dalam hal itu, maka Rabb Maha mulia daripada hamba-Nya, Dia pasti membukakan baginya dari ilmu-ilmu mengenainya hal-hal yang sebelumnya belum dijangkaunya.”

Setelah itu, beliau menjelaskan metode penulisannya, “Manakala Allah Yang Maha Pemberi menganugerahkan kepada saya dan saudara-saudaraku untuk menggeluti kitab-Nya sesuai dengan kondisi yang pantas bagi kami, maka ingin sekali saya untuk menggariskan sebagian dari tafsir Kitabullah apa yang telah dimudahkan dan dianugerahkan-Nya kepada kami sehingga bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mencari ilmu, alat bagi orang yang mau mengamati dan ma’rifah bagi orang-orang yang berjalan (di jalan-Nya). Juga agar saya bisa mencatatnya karena khawatir hilang dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka, semoga Allah membalas untuk mereka dari kaum Muslimin dengan kebaikan. Kepada Allah aku memohon dan bergantung agar memudahkan tujuanku dan mempermudah apa yang kuinginkan, sebab bila Dia tidak memudahkannya, maka pasti tidak ada jalan untuk dapat mencapainya, dan bila Dia tidak membantu, maka pasti tidak akan ada jalan seorang hamba mendapatkan apa yang dicita-citakannya. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya ikhlas semata karena-Na dan menjadikan manfa’atnya menyeluruh, sesungguhnya Dia Maha Kaya dan Mulia, Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad.”

Beliau juga mengingatkan, “Perhatian: ketahuilah bahwa caraku di dalam tafsir ini adalah menyebutkan makna-makna yang dapat aku pahami pada setiap ayat dan aku tidak cukup hanya menyebutkan hal-hal yang terkait dengan letak-letak sebelumnya tanpa menyebutkan juga hal-hal yang terkait dengan letak-letaknya setelah itu sebab Allah menyebut Kitab ini sebagai Matsaani, yakni mengulang-ulang di dalamnya berita-berita, hukum-hukum dan semua tema-tema yang bemanfa’at lainnya karena beberapa hikmah yang agung. Dia memerintahkan agar mentadabbur seluruhnya karena hal itu akan menambah ilmu dan pengetahuan, kesalihan secara lahir dan batin serta perbaikan seluruh hal.”

’Aqidahnya
Beliau seorang yang beraqidah Salaf, membela aqidah Salaf di dalam kitabnya ini serta menetapkan Asma-Asma dan Sifat-Sifat Ilahi. Beliau menolak takwil-takwil yang dilakukan oleh aliran Jahmiyyah, Mu’tazilah serta Asya’riyyah dan membantah mereka.

Dalam tafsir firman-Nya, ar-Rahmaan ar-Rahiim; beliau berkata, “Dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala pemilik rahmat yang luas dan agung, yang meliput segala sesuatu, mencakup setiap dzat yang hidup. Dia mencatatkannya bagi orang-orang yang bertakwa, yang mengikuti para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka itu mendapatkan rahmat yang mutlak sedangkan orang selain mereka mendapatkan bagian darinya.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah, bahwa di antara kaidah yang disepakati oleh para imam terdahulu dan para tokohnya adalah beriman kepada Asma Allah, Sifat-sifat-Nya serta hukum-hukum yang berkenaan dengan sifat itu. Mereka, misalnya, mengimani bahwa Rahmaan Rahiim adalah Pemilik rahmat (kasih sayang) yang Dia bersifat dengannya, yang terkait dengan yang dikasihi. Jadi semua nikmat merupakan jejak dari jejak-jejak rahmat-Nya, demikian pula terhadap seluruh Asma yang lain. Dikatakan pada nama-Nya, al-‘Aliim; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, pemilik ilmu, mengetahui dengannya segala sesuatu, Maha Kuasa Yang Kuasa atas segala sesuatu.”

Setelah menafsirkan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-natikan melainkan datangnya Allah dan melaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan…” (Q.s.,al-Baqarah:210), beliau berkata, “Ayat ini dan semisalnya merupakan dalil bagi madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menetapkan sifat-sifat Ikhtiyaariyyah seperti Istiwa`, nuzul (turun), maji` (datang) dan sifat-sifat lainnya yang telah diberitakan Allah mengenai diri-Nya dan juga diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka menetapkan hal itu semua sesuai dengan kondisi yang layak bagi kemuliaan dan keagungan Allah, tanpa melakukan Tasybiih (penyerupaan) atau pun Tahriif (pengubahan) berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok al-Mu’aththilah (yang mendisfungsikan sifat-sifat Allah) dengan beragam orientasi mereka seperti Jahmiyyah, Asy’ariyyah dan semisal mereka yang menafikan sifat-sifat tersebut dan yang karenanya menakwil ayat-ayat dengan takwil-tawil yang tidak pernah disyari’atkan Allah bahkan sebaliknya, pada hakikatnya justeru merupakan pelecehan terhadap penjelasan Allah dan penjelasan Rasul-Nya. Sedangkan klaim bahwa melalui ucapan merekalah akan dicapai hidayah dalam masalah ini, maka mereka tidak memiliki dalil naqly yang mendukung mereka bahkan dalil ‘aqly (secara logika) pun tidak.

Dari sisi Naqly, mereka mengakui bahwa nash-nash yang terdapat di dalam Kitabullah dan as-Sunnah secara zhahirnya bahkan secara gamblangnya (sharih) mendukung madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bahwa dari aspek pendalilannya atas madzhab mereka yang batil perlu dikeluarkan dari zhahirnya, ditambahi ataupun dikurangi. Sebagaimana yang anda lihat, ini (perkataan) tentu tidak akan memuaskan bagi siapa saja yang di dalam hatinya terdapat seberat Dzarrah iman.

Sedangkan dari sisi logika, tidak ada yang menunjukkan penafian sifat-sifat tersebut bahkan akal menunjukkan bahwa orang yang memperbuat adalah lebih sempurna dari pada orang yang tidak mampu melakukan suatu perbuatan dan bahwa perbuatan-Nya yang terkait dengan diri-Nya dan juga terkait dengan makhluk-Nya adalah kesempurnaan. Jika mereka mengklaim bahwa penetapannya menunjukkan adanya tasybih (penyerupaan) dengan makhluk-Nya, perlu dijawab terhadap mereka dengan mengatakan, “Pembicaraan mengenai sifat-sifat mengikuti (menjadi sub-ordinasi dari) pembicaraan mengenai Dzat; sebagaimana Allah memiliki Dzat yang tidak dapat diserupai dzat-dzat manapun, maka Allah juga memiliki sifat-sifat yang tidak dapat diserupai oleh sifat-sifat lainnya. Jadi, sifat-sifat-Nya mengikuti Dzat-Nya dan sifat-sifat makhluk-Nya mengikuti dzat-dzat mereka namun di dalam menetapkannya tidak terdapat indikasi penyerupaan dari aspek apapun.

Dapat dikatakan juga kepada orang yang menetapkan sebagian sifat tetapi menafikan sebagian yang lain, atau menetapkan Asma tanpa sifat; “Hanya ada dua alternatif bagi anda; anda tetapkan semua sebagaimana Allah menetapkannya terhadap diri-Nya dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya atau anda nafikan semuanya sehingga anda menjadi pengingkar Rabb semesta alam. Sedangkan bila anda tetapkan sebagiannya dan menafikan sebagian yang lain, maka ini kontradiktif; coba bedakan antara yang engkau tetapkan dan yang engkau nafikan tersebut, pasti kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk membedakannya. Jika anda berkata, ‘Apa yang aku tetapkan tidak mengindikasikan penyerupaan,’ maka Ahlussunnah akan berkata kepada anda, ‘bahkan menetapkan terhadap apa yang anda nafikan tersebut juga tidak mengindikasikan penyerupaan.!!’ Jika anda mengatakan, ‘Yang aku sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu hanyalah bentuk penyerupaan.’ Maka an-Nufaah (orang-orang yang menafikan sifat) akan berkata kepada anda, ‘Dan yang kami sadari (ketahui) dari apa yang engkau tetapkan itu pun hanyalah bentuk dari penyerupaan juga.!!’ Maka, jawabanmu terhadap an-Nufaah tersebut adalah jawaban yang nantinya akan diberikan oleh Ahlussunnah terhadap apa yang engkau nafikan.

Alhasil, bahwa siapa saja yang menafikan sesuatu dan menetapkan sesuatu terhadap hal yang sudah didukung oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah di dalam menetapkannya; maka ia akan menjadi orang yang kontradiktif; tidak berdasarkan dalil syari’at yang valid ataupun dalil akal bahkan bertentangan dengan dalil akal dan naql.”

Syaikh as-Sa’dy telah menulis pasal tersendiri di dalam mensyarah Asma Allah al-Husna di dalam bukunya Ushuul Fi at-Tafsiir, yang dicetak pada akhir juz ke-lima.

Sikapnya Terhadap Sanad Dan Hadits
Beliau tidak banyak menyinggung hadits-hadits Nabawi akan tetapi menyebutkan maknanya ketika mengetengahkan penafsirannya terhadap ayat-ayat. Ketika menyinggung hal tersebut, biasanya tidak merujukkan kepada sumbernya karena beliau hanya berkonsentrasi pada penjelasan makna dengan cara yang paling mudah.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menjelaskan hukum-hukum fiqih yang terdapat di dalam ayat dengan ungkapan yang mudah seraya menyebutkan pendapat para ulama fiqih yang menurutnya lebih kuat dan tidak menyinggung masalah-masalah khilafiyyah yang terjadi di antara para ulama. Terkadang beliau menyebutkan bahwa pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama, pendapat para shahabat atau salah seorang dari mereka.

Dalam hal ini, Syaikh as-Sa’dy adalah seorang faqih yang mumpuni dan seorang mujtahid. Siapa saja yang membaca buku al-Fataawa as-Sa’diyyah dan Manhaj as-Saalikiin serta kitab-kitabnya yang lain tentu akan mengetahui hal itu.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Tidak menyinggung sama sekali masalah Qiraa`aat karena menilai pembahasan yang dilakukan para mufassirin sudah lebih dari cukup.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau tidak mau menyinggung masalah Israa`iliyyaat di dalam kitabnya tetapi membantah sebagiannya sebagaimana terdapat pada surat an-Nahl (Jld.V,h.275) ketika membantah pendapat yang mengklaim bahwa burung Hud-Hud bisa melihat air yang ada di dasar bumi, dan bahwa Nabi Sulaiman alaihi salam., memintanya agar menyingkap lokasi air kepadanya. Beliau berkata, “…Sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dalilnya sama sekali, bahkan dalil akal dan secara lafazh menunjukkan kebatilannya. Adapun dalil akal; sesungguhnya telah diketahui melalui adat, pengalaman dan kesaksian bahwa semua binatang ini tidak memiliki satu indera pun yang dapat melihat dengan penglihatan yang di luar kebiasaan tersebut apalagi melihat air yang berada di dalam perut bumi yang berlapis tebal. Bila hal demikian memang benar, pasti Allah telah menyebutkannya sebab hal itu termasuk salah satu tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Sedangkan dalil secara lafazh; bila memang makna seperti ini yang dimaksud, pasti redaksinya berbunyi (artinya), ‘Dan dia (Sulaiman) meminta Hud-Hud agar menampakkan air tersebut kepadanya, maka tatkala dia kehilangannya (Hud-Hud)…,’ berkatalah ia kepadanya seperti yang dikatakannya…atau dia mencari burung Hud-Hud …atau lafazh-lafazh (arab) sepertinya. Padahal sebenarnya, burung Hud-Hud berkeliling untuk tujuan melihat siapa yang hadir dan tidak hadir serta agar ia tetap konsisten berada di tempat-tempat yang sudah ditentukan Sulaiman.”

Selanjutnya, as-Sa’dy menambahkan, “Penafsiran-penafsiran yang ada dan masyhur seperti ini merupakan perkataan-perkataan yang tidak dikenal selainnya, dinukil dari Bani Israil tanpa sensor (apa adanya) dan penukilnya tidak menggubris bahwa ia bertentangan dengan makna-makna (nilai-nilai) yang shahih dan diterapkan pada perkataan-perkataan yang lain, kemudian ia (perkataan-perkataan tersebut) terus dipindah-tangankan dan diriwayatkan oleh orang yang datang belakangan dengan menyerahkannya secara penuh kepada orang terdahulu sehingga dikira ia adalah kebenaran, maka terjadilah perkataan-perkataan murahan di dalam semua penafsiran yang seperti itu…” [hingga akhir perkataan syaikh as-Sa’dy]

Demikian pula, beliau menyanggah tafsiran terhadap firman-Nya, “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.” (Q.s.,al-Baqarah:259) bahwa (orang tersebut) adalah ‘Uzair alaihi salam. Beliau berkata, “Sesungguhnya lafazh ini sama sekali tidak menunjukkan ke arah itu bahkan menafikannya dan maknanya pun tidak menunjukkan hal itu pula.,” (Lihat tafsir beliau, Jld.I, h.156)

Sikapnya Terhadap Aspek Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau menjelaskan makna-makna kalimat dengan bahasa yang mudah, tanpa banyak berbicara tentang linguistik Arab. Demikian inilah yang beliau maksudkan sebagaimana perkataannya pada mukaddimah kitabnya, “Dan yang menjadi tujuanku hanyalah mengupas maknanya. Aku tidak mau menyibukkan diri di dalam mengurai lafazh-lafazh dan ikatan-ikatan lainnya berdasarkan alasan yang telah saya sebutkan, serta karena para mufassir sebenarnya telah memberikan kontribusi yang cukup bagi generasi-generasi setelah mereka.”

Semoga Allah memberikan balasan kepada Syaikh dari kaum Muslimin dengan kebaikan.

SUMBER:
- al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.77-83.

·    Tafsir FATHUL QADIR, IMAM ASY-SYAWKANI

Nama Mufassir
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani, al-Qadhi.

Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir.

’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”

Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf.

Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.

Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.
Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”

Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”

Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.

Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”

Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.

Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.

Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih. Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya, dan kitab-kitab lainnya.

Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.

Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.

Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.

Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.

CATATAN

Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.

SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.
AZ-ZAMAKHSYARI
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi, penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.

Nama Kitab
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.

Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’

Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah. Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.

Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan madzhab ‘Hanafi’-nya.

Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal ‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.

Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat
Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya, “Wallahu a’lam.”

Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.


(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin karya Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi, hal.16-17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar